Ekspor Tekstil Jajaki Pasar Turki

- Jumat, 30 Oktober 2020 | 11:39 WIB

JAKARTA Kementerian Perdagangan (Kemendag) berupaya untuk meningkatkan kinerja ekspor tekstil Indonesia ke pasar Turki, di tengah kebijakan perdagangan negara tersebut yang cukup ketat dalam pegenaan tarif. Pelaku usaha tekstil pun mendukung karena Turki dianggap sebagai gerbang perdagangan yang penting menuju pasar ekspor Eropa.

Direktur Jenderal Perdagangan Luar Negeri Kemendag Didi Sumedi mengatakan bahwa Turki meningkatkan bea masuk impornya di Organisasi Perdagangan Dunia (WTO) sebanyak 50,5 persen dari keseluruhan pos tarif negara tersebut. Contohnya, Turki menetapkan bound tariff untuk produk pakaian jadi, kulit, dan sepatu sebesar 40 persen.

Sementara untuk produk tekstil mulai dari serat, benang, dan kain jauh lebih tinggi lagi yaitu 92 persen. Bound tariff tersebut bertindak sebagai ambang batas teratas yang tidak bisa dilanggar dan tercatat dalam konsesi masing-masing anggota. “Dengan tingginya bound tariff tersebut, Turki memiliki keleluasaan ruang gerak dalam memainkan instrumen bea masuk impor termasuk menaikkan bea tambahannya,” ujar Didi, kemarin (29/10).

Dari segi kebijakan nontarif (non-tariff measures/NTM), lanjut Didi, Turki termasuk ke dalam 10 besar negara di dunia yang paling banyak menerapkan instrumen ini. Hal ini dapat dilihat dari rasio penggunaan NTM yang mencakup 60,74 persen dari total impor Turki dan 24,16 persen dari total ekspor negara tersebut. Selain itu, Turki merupakan salah satu negara pengguna aktif dari instrumen trade remedies. ”Terlihat bahwa pasar Turki merupakan pasar yang cukup menantang bagi ekspor tekstil Indonesia. Namun, pasar Turki sejatinya juga memiliki potensi cukup besar bagi industri tekstil kita,” kata Didi.

Menurut dia, potensi bagi industri tekstil Indonesia didasarkan pada dua alasan. Pertama, posisi Turki yang membentang dari tenggara Eropa sampai dengan Asia Barat sehingga negara ini merupakan hub yang penting untuk menembus pasar Timur Tengah, Eropa, bahkan Afrika bagian utara.

Kedua, Turki adalah negara produsen tekstil dan garmen utama dunia. Negara tersebut merupakan pemasok ke-6 terbesar di dunia dan ke-3 di Eropa. Dengan demikian, eksportir Indonesia dapat menjadi pemasok bahan baku atau intermediate goods TPT berkualitas tinggi atau dengan kata lain masuk ke dalam rantai nilai pasok (supply chain) Turki. Contohnya, serat stapel buatan merupakan produk ekspor terbesar Indonesia ke Turki pada 2019 dengan nilai USD 366 juta dan tren pertumbuhan yang cukup besar.

Sementara itu, Ketua Umum Asosiasi Pertekstilan Indonesia (API) Jemmy Kartiwa berujar pasar Turki menjadi salah satu tujuan ekspor terbesar bagi Indonesia, misalnya saja produsen benang pintal (spun yarn) Indonesia. "Dan ini akan terus menjadi pasar penting untuk pasar produsen spun yarn Indonesia," ujar Jemmy.

Turut menambahkan, Sekretaris Jenderal Asosiasi Produsen Serat dan Filament Indonesia (APSyFI) Redma Gita Wirawasta mengatakan pelaku industri maupun pemerintah harus mampu mengatasi tren pengamanan perdagangan yang akan terus dijalankan oleh pemerintah Turki. Menurut Redma, tak sedikit trade remedies yang diterapkan sebetulnya mengarah pada produk Cina yang membanjiri Turki. Namun, hal ini turut berdampak pada produk yang sama dari Indonesia. ”Menurut kami, tugas bersama yaitu supaya kita tak terbawa. Pasar Turki tak boleh lepas, apalagi terkena hambatan berupa BMAD karena bisa menurunkan daya saing yang lebih pesat,” ujar Redma. (agf)

Editor: izak-Indra Zakaria

Rekomendasi

Terkini

Kontribusi BUM Desa di Kalbar Masih Minim

Kamis, 25 April 2024 | 13:30 WIB

Pabrik Rumput Laut di Muara Badak Rampung Desember

Senin, 22 April 2024 | 17:30 WIB
X