Hal ini menjadi dilema karena dengan tiadanya besukan, artinya akan membuat narapidana merasa terputus dengan keluarganya yang dijadikannya sebagai penguat mentalnya selama menjalani hukuman di penjara. Akan tetapi, jika besukan tatap muka dilaksanakan, membuat potensi penularan virus bisa terjadi.
Bahkan dengan menerapkan protokol kesehatan sekalipun, rasanya sulit untuk tidak berkontak fisik, terlebih dengan banyaknya jumlah pembesuk yang tidak sebanding dengan kondisi infrastruktur yang ada.
Tidak hanya itu, kontak fisik saat besukan sulit dihindari. Sebab, dengan bertemu keluarga sebagai orang terkasih, kontak fisik minimal berjabat tangan adalah laksana obat rindu yang menenteramkan hati.
Memang hal ini dapat diatasi, bila narapidana dapat mencari dukungan sosialnya sendiri melalui rekan sesama narapidana atau kemampuan petugas lapas dalam menanggulangi problem psikologis narapidana yang muncul.
Praktiknya di lapangan, dukungan sumber daya manusia yang mengerti akan psikologis ini tidaklah merata di seluruh lapas di Indonesia. Dengan overkapasitas yang terjadi di lapas-lapas seluruh Indonesia, ketepatan dalam perawatan, penanganan, dan pembinaan narapidana adalah kunci utama.
Data yang tercatat di sistem database pemasyarakatan hingga Oktober 2020, jumlah narapidana di seluruh Indonesia mencapai 235,284 dan kapasitas hunian penjara yang ada hanya 133,454. Artinya jumlah overkapasitas mencapai 76 persen.