Oleh:
Muhamad Fadhol Tamimy, SPsi
Berdinas di Lapas Kelas IIA Tenggarong
TAHUN ini berbeda dari tahun-tahun sebelumnya, musababnya adalah munculnya pandemi virus corona. Virus tak kasatmata tersebut menjadi pembatas mobilitas di sendi kehidupan umat manusia.
Celakanya, mobilitas di dunia luar yang terbatas, akhirnya berimbas pada fenomena baru di tengah masyarakat. Salah satunya sosialisasi antara sesama manusia yang sarat dengan rasa curiga atau seperti slogannya penjara “awas jangan-jangan”, ada virus corona bersemayam di dalam diri orang di hadapnya.
Barangkali jika virus tersebut adalah sang pemimpin, ia mirip pemimpin diktator yang berhasil mengendalikan paksa kebiasaan baru rakyatnya.
Bukan hanya masyarakat di luar yang merasakan imbasnya, akan tetapi juga berdampak pada masyarakat yang tengah menjalani pembinaan di lembaga pemasyarakatan, atau yang sering dikenal dengan narapidana.
Dampak yang nyata walau tak kasatmata adalah kondisi kesehatan mentalnya. Padahal problem klasik yang lebih dulu ada dibandingkan corona, seperti overkapasitas lapas saja sudah cukup membuat penanggulangan gangguan psikologi dan kesehatan mental tidak sepenuhnya berjalan.
Dengan adanya kejadian tak terduga ini, otomatis akan semakin tinggi tantangan pembinaannya. Mengapa semakin tinggi tantangannya? Penyebabnya adalah keleluasaan hak untuk dikunjungi sanak saudaranya menjadi terbatas, bahkan tertutup untuk sementara waktu lewat layanan kunjungan tatap muka.
Ditutupnya besukan tatap muka untuk sementara waktu sesuai instruksi dari Dirjen PAS guna mencegah terjadinya penyebaran corona di dalam lembaga pemasyarakatan. Diketahui, sebelumnya Dirjen Pemasyarakatan Kementerian Hukum dan HAM Reynhard Silitonga dalam diskusi yang digelar Masyarakat Hukum Pidana dan Kriminologi Indonesia (Mahupiki) secara daring pada Senin, 29 Juni 2020 lalu, mengatakan bahwa total tahanan ataupun narapidana yang telah terpapar covid sebanyak 100 orang.
Menutup akses sementara besukan tersebut adalah langkah yang lebih baik dibandingkan membiarkan terjadinya transmisi penyebaran Covid-19 di lembaga pemasyarakatan yang sedang dirundung overkapasitas hunian.
Hal ini menjadi dilema karena dengan tiadanya besukan, artinya akan membuat narapidana merasa terputus dengan keluarganya yang dijadikannya sebagai penguat mentalnya selama menjalani hukuman di penjara. Akan tetapi, jika besukan tatap muka dilaksanakan, membuat potensi penularan virus bisa terjadi.
Bahkan dengan menerapkan protokol kesehatan sekalipun, rasanya sulit untuk tidak berkontak fisik, terlebih dengan banyaknya jumlah pembesuk yang tidak sebanding dengan kondisi infrastruktur yang ada.