Sementara itu, Manager Unit Pelayanan Pengatur Beban (UP2B) Kalimantan Chaliq menyebut, hingga kini Kaltim sudah tercukupi dari sisi pembangkit. Bahkan lebih banyak menyuplai listrik ke Kalsel dan Kalteng. “Rata-rata Kaltim pasok 70 MW ke Kalsel. Pernah sampai 200 MW tapi tidak lama, paling satu hingga dua jam,” ucapnya.
Kondisi pembangkit di Kaltim pun disebut masih prima. Adapun pembangkit yang sudah uzur dan tidak efisien lagi lebih banyak digunakan dalam kondisi darurat. Dari sisi penggunaannya hanya 1 persen dari keseluruhan produksi di 2020. “Yang tidak efisien ini adalah pembangkit yang mengandalkan BBM. Dan pembangkit jenis ini hanya digunakan saat emergency jika ada gangguan pembangkit,” ungkapnya.
Pembangkit listrik di Kaltim, ucap dia, masih didominasi dari energi batu bara. Jumlahnya 78 persen dari produksi. Kemudian dari pembangkit energi gas sebesar 19 persen, dan dari EBT sebesar 3 persen.
Ke depan ada rencana untuk merelokasi pembangkit yang mengandalkan bahan bakar minyak itu. Namun, Chaliq menyebut itu masih dalam tahap menyusun skenario. Bagaimana memindahkan dari daerah yang sudah tersuplai pembangkit besar ke daerah yang belum teraliri listrik. “Ini masih sebatas rencana. Ada beberapa kandidat daerah mana, sudah dikaji di PLN pusat,” katanya. (rdh/rom/k16)