Cadangan Batu Bara Kaltim 4,6 Miliar Metrik Ton

- Sabtu, 24 Oktober 2020 | 13:57 WIB
Cadangan batu bara Kaltim masih besar.
Cadangan batu bara Kaltim masih besar.

SAMARINDA–Realisasi produksi batu bara Kaltim dari tahun ke tahun naik-turun. Angka terbesar disumbangkan perusahaan pemegang Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan Batu Bara (PKP2B). Dinas Energi Sumber Daya Mineral (ESDM) Kaltim melaporkan, pada tahun lalu (semester I) produksi emas hitam PKP2B mencapai 63 juta ton.

Sementara dari pemegang izin usaha pertambangan (IUP) 48 juta ton. Produksi ini menurun jika dibandingkan realisasi 2018. Di mana PKP2B dan IUP masing-masing mencatatkan angka produksi 153 juta dan 103 juta ton. Sementara pada tahun ini, Kementerian ESDM memberi jatah produksi sebesar 82 juta ton.

Gubernur Kaltim Iran Noor menuturkan, kontribusi batu bara yang dihasilkan Kaltim untuk negara cukup tinggi. Sebanyak 62 persen pasokan batu bara nasional berasal dari provinsi ini. Sumber daya yang melimpah ini diharapkan diikuti oleh pengelolaan yang tepat. Sehingga hilirisasi dianggap jadi opsi meskipun berat. Tak mudah, namun hilirisasi batu bara rupanya sudah diinisiasi sebelum diatur dalam Omnibus Law Cipta Kerja.

Pada pertengahan tahun ini, investasi proyek pabrik methanol sebagai produk turunan batu bara di Bengalon, Kutai Timur, senilai USD 2 miliar, diinisiasi Bakrie Capital Indonesia. Perusahaan ini berkolaborasi dengan Ithaca Resources dan Air Products and Chemicals. Investasi pabrik methanol ini diyakini bisa mendongkrak perekonomian Kaltim yang stagnan selama masa pandemi Covid-19. Di samping itu, juga akan menjadi bagian penting dari proses hilirisasi perekonomian yang sedang berjalan di Kaltim.

Gubernur menuturkan, proyek batu bara ke methanol yang akan dibangun di Bengalon sangat prospektif. Karena gas yang dihasilkan batu bara itu sangat banyak. "Apalagi batu bara muda di Kutai Timur khususnya di daerah pedalaman itu mengandung gas yang besar sebagai bahan baku methanol. Pokoknya baguslah, kita tunggu saja. Didukung dengan Kaltim yang punya cadangan batu bara cukup besar, perkiraannya 4,6 miliar metrik ton," kata Isran Noor.

Ekonom Universitas Mulawarman (Unmul) Aji Sofyan Effendi mengatakan, efek batu bara memang tidak secara langsung terhadap APBD. Tetapi, melalui peningkatan pendapatan masyarakat yang bekerja di industri tersebut. Ke depannya, disebut Aji Sofyan, industri hulu harus dialihkan ke industri hilir. "Kita harus kembali ke sumber daya alam yang diperbarui. Kita harus bergerak di entitas industri hilir batu bara. Hanya saja, memang tidak murah membangun bisnis ini. Dibandingkan industri hulu," jelas dia.

Dia mengatakan, pada industri hulu, batu bara tinggal mengeksplorasi lalu mengekspornya. Kemudian berbeda jika harus mengolahnya menjadi produk turunan. Terpisah, Kepala Perwakilan BI Kaltim Tutuk SH Cahyono mengatakan, industri methanol cukup menjanjikan. Asalkan, semua terintegrasi. "Ketika methanol sudah ada, akan dibuat apalagi. Sehingga industri akan tumbuh di sana," paparnya.

Apalagi, kebutuhan methanol Indonesia saat ini diperkirakan sebesar 1,2 juta ton per tahun dan hanya dipenuhi dari satu produsen methanol existing dengan kapasitas produksi 660 ribu ton per tahun. Hilirisasi batu bara ke methanol dirasakan menghadapi tantangan, terutama regulasi dan insentif. Insentif ini yang kemudian disebut-sebut diatur dalam Omnibus Law Cipta Kerja. Di mana perusahaan batu bara yang melakukan hilirisasi bebas royalti 0 persen. Dengan catatan, melakukan hilirisasi.

Namun insentif itu dinilai Ketua Asosiasi Pengusaha Batubara Indonesia (APBI) Samarinda Eko Priyatno belum menjawab masalah hilirisasi. "Hilirisasi mau dibuat apa? Mau dibuat gas misalnya. Kalau dibuat gas harganya lebih mahal biayanya daripada gas asli naturalnya," kata Eko kepada Kaltim Post, Kamis (22/10), sambil menyatakan regulasi tersebut masih jadi perdebatan. Menurut dia, hilirisasi batu bara di Kaltim masih berat. Apalagi saat ini harga emas hitam cukup rendah. Eko menjelaskan, hilirisasi berarti mengubah batu bara menjadi produk lain. Baik produk gas maupun produk lain untuk dijual lagi.

Diakuinya, teknologi untuk mendukung hilirisasi batu bara memang sudah ada. Tetapi biaya teknologi untuk membuat hilirisasi juga cukup tinggi. Karena itu, dia menilai masih menguntungkan batu bara dijual dalam bentuk mentah. Sebaliknya, mengolahnya jadi produk lain, seperti gas, tidak menguntungkan bagi pengusaha. Apalagi, dia menilai, harga gas juga tidak ekonomis saat ini.

"Kalau hilirisasi mungkin dikompensasi dengan biaya peningkatan, dengan pengurangan royalti. Kemungkinan arahnya begitu. Misalnya kalau ada nilai tambah didapat pemotongan. Clue-nya dipersiapkan seperti itu. Untuk hilirisasi memang agak berat karena teknologi cukup mahal. Itu saja sih, tapi juga masih debatable masalah aturan ini," ungkapnya. (nyc/riz/k8)

Editor: izak-Indra Zakaria

Rekomendasi

Terkini

Siapkan Formasi Fresh Graduate Pindah ke IKN

Rabu, 24 Januari 2024 | 23:00 WIB

Truk Ambles di Drainase Proyek DAS

Rabu, 24 Januari 2024 | 11:31 WIB

Pengedar Sabu Diciduk Polisi saat Terlelap di Kamar

Rabu, 24 Januari 2024 | 11:30 WIB

Anies Prioritaskan Ketersediaan Lapangan Kerja

Rabu, 24 Januari 2024 | 11:27 WIB

Jepang vs Indonesia, Maju Tak Gentar...!!

Rabu, 24 Januari 2024 | 10:23 WIB

ASTAGA..!! Ada 26 Motor Hilang di Depan BIGmall

Rabu, 24 Januari 2024 | 10:16 WIB

Menantu Luhut Jadi Komisaris Utama Pindad

Rabu, 24 Januari 2024 | 10:11 WIB

Babinsa Sungai Dama Antar Warga ke Rumah Sakit

Rabu, 24 Januari 2024 | 10:09 WIB

18 Kecamatan di Kukar Kekurangan Pengawas TPS

Rabu, 24 Januari 2024 | 10:08 WIB

Algaka Pelanggar di Kukar Mulai Ditertibkan

Rabu, 24 Januari 2024 | 10:05 WIB

Karena Pemilu, Kasus Korupsi KPU Mahulu Terhambat

Rabu, 24 Januari 2024 | 10:05 WIB
X