PROKAL.CO,
Hilirisasi dianggap penting bagi negara untuk meningkatkan nilai tambah batu bara. Di sisi lain, hilirisasi batu bara dihadapkan kendala biaya tinggi, teknologi mahal, dan pasar yang belum jelas.
SAMARINDA–Insentif berupa royalti 0 persen dinilai belum menjawab masalah hilirisasi tambang batu bara dalam negeri, khususnya di Kaltim. Rencana pemerintah itu yang dituangkan dalam Omnibus Law Cipta Kerja dinilai hanya angan-angan. Hal itu diungkapkan Ketua Asosiasi Pengusaha Batubara Indonesia (APBI) Samarinda Eko Priyatno.
"Hilirisasi mau dibuat apa? Mau dibuat gas misalnya. Kalau dibuat gas harganya lebih mahal biayanya daripada gas asli naturalnya," kata Eko kepada Kaltim Post, (22/10), sambil menyatakan regulasi tersebut masih jadi perdebatan. Menurut dia, hilirisasi batu bara di Kaltim masih berat. Apalagi saat ini harga emas hitam cukup rendah. Eko menjelaskan, hilirisasi berarti mengubah batu bara menjadi produk lain. Baik produk gas ataupun produk lain untuk dijual lagi.
Diakuinya, teknologi untuk mendukung hilirisasi batu bara memang sudah ada. Tetapi biaya teknologi untuk membuat hilirisasi juga cukup tinggi. Karena itu, dia menilai masih menguntungkan batu bara dijual dalam bentuk mentah. Sebaliknya, mengolahnya jadi produk lain, seperti gas, tidak menguntungkan bagi pengusaha. Apalagi, dia menilai, harga gas juga tidak ekonomis saat ini.
"Kalau hilirisasi mungkin dikompensasi dengan biaya peningkatan, dengan pengurangan royalti. Kemungkinan arahnya begitu. Misalnya kalau ada nilai tambah didapat pemotongan. Clue-nya dipersiapkan seperti itu. Untuk hilirisasi memang agak berat karena teknologi cukup mahal. Itu saja sih, tapi juga masih debatable masalah aturan ini," ungkapnya.