Hilirisasi Batu Bara Berat, Kata Pengusaha Ngga Menguntungkan..!!

- Jumat, 23 Oktober 2020 | 21:00 WIB
Mengubah batu bara menjadi produk lain dianggap mahal.
Mengubah batu bara menjadi produk lain dianggap mahal.

Hilirisasi dianggap penting bagi negara untuk meningkatkan nilai tambah batu bara. Di sisi lain, hilirisasi batu bara dihadapkan kendala biaya tinggi, teknologi mahal, dan pasar yang belum jelas.

 

SAMARINDA–Insentif berupa royalti 0 persen dinilai belum menjawab masalah hilirisasi tambang batu bara dalam negeri, khususnya di Kaltim. Rencana pemerintah itu yang dituangkan dalam Omnibus Law Cipta Kerja dinilai hanya angan-angan. Hal itu diungkapkan Ketua Asosiasi Pengusaha Batubara Indonesia (APBI) Samarinda Eko Priyatno.

"Hilirisasi mau dibuat apa? Mau dibuat gas misalnya. Kalau dibuat gas harganya lebih mahal biayanya daripada gas asli naturalnya," kata Eko kepada Kaltim Post, (22/10), sambil menyatakan regulasi tersebut masih jadi perdebatan. Menurut dia, hilirisasi batu bara di Kaltim masih berat. Apalagi saat ini harga emas hitam cukup rendah. Eko menjelaskan, hilirisasi berarti mengubah batu bara menjadi produk lain. Baik produk gas ataupun produk lain untuk dijual lagi. 

Diakuinya, teknologi untuk mendukung hilirisasi batu bara memang sudah ada. Tetapi biaya teknologi untuk membuat hilirisasi juga cukup tinggi. Karena itu, dia menilai masih menguntungkan batu bara dijual dalam bentuk mentah. Sebaliknya, mengolahnya jadi produk lain, seperti gas, tidak menguntungkan bagi pengusaha. Apalagi, dia menilai, harga gas juga tidak ekonomis saat ini.

"Kalau hilirisasi mungkin dikompensasi dengan biaya peningkatan, dengan pengurangan royalti. Kemungkinan arahnya begitu. Misalnya kalau ada nilai tambah didapat pemotongan. Clue-nya dipersiapkan seperti itu. Untuk hilirisasi memang agak berat karena teknologi cukup mahal. Itu saja sih, tapi juga masih debatable masalah aturan ini," ungkapnya.

Untuk diketahui, kebijakan hilirisasi tambang batu bara termasuk dalam Omnibus Law Cipta Kerja yang disahkan DPR, beberapa waktu lalu. Peraturan ini menuai pro-kontra karena pemerintah memberikan perlakuan istimewa bagi pengusaha tambang bara yang mau hilirisasi. Yakni tak dibebankan royalti. Jika kebijakan ini diberlakukan, Jaringan Advokasi Tambang Nasional (Jatamnas) mengklaim Kaltim sebagai penghasil batu bara akan dirugikan.

Provinsi ini berpotensi kehilangan pendapatan hingga Rp 9 triliun yang bersumber dari dana bagi hasil (DBH) pertambangan. Koordinator Jatamnas Merah Johansyah mengatakan, regulasi itu diatur dalam Pasal 128 A yang menyatakan bahwa perusahaan tambang yang mengusahakan hilirisasi pertambangan atau peningkatan nilai dari pertambangan tersebut, akan dimudahkan dengan pembayaran insentif royalti hingga 0 persen.

Artinya, sambung dia, perusahaan tambang tersebut bisa tidak membayar royalti. Jika begini, hal tersebut akan berimbas pada pendapatan negara dari sektor pertambangan. Dan hal ini akan berdampak pada DBH yang diberikan pusat kepada daerah. Kaltim pun akan sangat terdampak.

Dikonfirmasi terkait hal itu, anggota Komisi III DPRD Kaltim Syafruddin mengatakan, Omnibus Law Cipta Kerja memang kompleks. Dia mengatakan, saat ini di UU Minerba,

pengusaha yang termasuk dalam Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan Batu Bara (PKP2B), diberi perpanjangan hanya lima tahun sekali. Tidak puluhan tahun.

Apabila PKP2B tersebut taat aturan, izin akan diberikan. Namun, diakui Syafruddin perlu penjabaran soal dana bagi hasil. "Saya juga bingung, karena pasti berbenturan. Apakah nanti disahkannya UU Omnibus Law akan menggugurkan aturan yang lainnya. Ini yang perlu kajian lebih mendalam. Jadi tidak asal ngomong dan analisis," imbuhnya.

Politikus PKB ini melanjutkan, DBH juga diberikan kepada kota/kabupaten yang memproduksi energi. Namun angka untuk kota/kabupaten belum diketahui. Tetapi, yang diyakininya, DBH saat ini turun karena pandemi Covid-19. Syafruddin tak menampik sekarang masih kesulitan untuk menilai apakah Omnibus Law Cipta Kerja bakal berdampak baik atau buruk. Namun, sekadar asumsinya, bisa saja nanti Omnibus Law Cipta Kerja berdampak baik karena investasi makin mudah. Sehingga, royalti makin banyak dan mendorong dana bagi hasil.

Untuk diketahui, pada 2021, terdapat pengurangan nilai transfer dari pemerintah pusat sekitar Rp 864 miliar dari angka proyeksi APBD Kaltim. Ada penyesuaian terkait DBH yang semula sebesar Rp 2,9 triliun menjadi hanya sekitar Rp 2 triliun. Pengurangan ini disebut karena adanya pandemi Covid-19. Sedangkan, dalam Daftar Isian Pelaksanaan Anggaran (DIPA) 2020 Pemprov Kaltim, dana transfer yang disiapkan negara sebesar Rp 4,9 triliun. Dana transfer untuk provinsi terdiri dari dana bagi hasil pajak Rp 616 miliar, dana bagi hasil sumber daya alam Rp 1,97 triliun, dana alokasi umum Rp 943 miliar, dana alokasi khusus fisik Rp 365,3 miliar, dana alokasi khusus non-fisik Rp 1 triliun, ditambah dana insentif daerah Rp 69 miliar.

Halaman:

Editor: izak-Indra Zakaria

Tags

Rekomendasi

Terkini

Siapkan Formasi Fresh Graduate Pindah ke IKN

Rabu, 24 Januari 2024 | 23:00 WIB

Truk Ambles di Drainase Proyek DAS

Rabu, 24 Januari 2024 | 11:31 WIB

Pengedar Sabu Diciduk Polisi saat Terlelap di Kamar

Rabu, 24 Januari 2024 | 11:30 WIB

Anies Prioritaskan Ketersediaan Lapangan Kerja

Rabu, 24 Januari 2024 | 11:27 WIB

Jepang vs Indonesia, Maju Tak Gentar...!!

Rabu, 24 Januari 2024 | 10:23 WIB

ASTAGA..!! Ada 26 Motor Hilang di Depan BIGmall

Rabu, 24 Januari 2024 | 10:16 WIB

Menantu Luhut Jadi Komisaris Utama Pindad

Rabu, 24 Januari 2024 | 10:11 WIB

Babinsa Sungai Dama Antar Warga ke Rumah Sakit

Rabu, 24 Januari 2024 | 10:09 WIB

18 Kecamatan di Kukar Kekurangan Pengawas TPS

Rabu, 24 Januari 2024 | 10:08 WIB

Algaka Pelanggar di Kukar Mulai Ditertibkan

Rabu, 24 Januari 2024 | 10:05 WIB

Karena Pemilu, Kasus Korupsi KPU Mahulu Terhambat

Rabu, 24 Januari 2024 | 10:05 WIB
X