SAMARINDA–Pemulihan kerugian negara tak dapat terpisahkan dalam pemberantasan korupsi. Menyeret pelaku rasuah ke meja hijau hingga diadili tanpa disertai upaya pengembalian uang rakyat yang sudah digerogoti, hanya memberikan efek jera yang parsial. Menyita harta benda milik pelaku sesuai besaran yang dikorupsi jadi salah satu cara memulihkan keuangan negara yang sudah digerayangi secara lancung.
Tentunya berbekal putusan pengadilan yang inkrah. Lalu, bagaimana dengan kasus korupsi yang belum diadili namun tersangkanya keburu meninggal? Caranya, menggugat keluarga tersangka ke pengadilan seperti yang terjadi di Kejari Samarinda. “Masih disusun materi gugatannya,” ucap Kepala Seksi Perdata dan Tata Usaha Negara (Kasi Datun) Kejari Samarinda Dwinanto Agung Wibowo yang ditemui media ini, (21/10).
Kasus korupsi itu, dugaan penyalahgunaan hibah senilai Rp 500 juta di LPK Eksekutif Insentif pada 2013 lalu. Perkara besutan Polresta Samarinda itu sudah dilimpahkan, berkas acara pemeriksaan beserta tersangka almarhum Eko Sukasno, ke kejaksaan medio November 2019 lalu. Berkas ditelaah jaksa penuntut umum untuk menyusun dakwaan yang akan digulirkan ke Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Samarinda. Tersangka pun langsung ditahan di Rutan Klas IIA Sempaja kala itu dan dua hari berselang, selepas penahanan, diketahui meninggal karena memiliki riwayat penyakit jantung.
“Dari kasus ini diduga kerugian negaranya total loss sebesar Rp 500 juta itu,” sambungnya. Dijelaskan Dwi, memang perbuatan pidana tersangka otomatis gugur karena meninggal dunia. Namun, merujuk Pasal 33 UU 31/1999 diperbarui UU 20/2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor), kejaksaan tetap harus menempuh upaya pengembalian kerugian negara. Yang muncul dari perkara tersebut lewat gugatan perdata perbuatan melawan hukum (PMH) ke Pengadilan Negeri (PN) setempat.
Gugatan itu bakal diajukan untuk ahli waris si tersangka yang telah meninggal. Materi gugatan masih disusun, Bidang Perdata dan Tata Usaha Negara yang dikomandoinya juga berkoordinasi dengan Bidang Intelijen Kejari Samarinda. Untuk melacak aset si tersangka yang bakal menjadi materiil yang diajukan untuk disita dalam gugatan itu nantinya.
Verifikasi aset ini rampung barulah gugatan akan digulirkan ke meja hijau. “Asetnya senilai kerugian negara dari kasus itu,” sebut jaksa pengacara negara itu.
Perkara hibah ini belum memiliki kekuatan hukum tetap. Lantaran tersangka meninggal sebelum perkara disidangkan di Pengadilan Tipikor Samarinda. Bagaimana kejaksaan menentukan jumlah kerugian negara yang valid? Mengingat kerugian negara sebesar Rp 500 juta atau sejumlah hibah yang diterima LPK tersebut masihlah dugaan yang belum terbukti dan sah di mata hukum. Menurut dia, nominal pasti kerugian negara dalam kasus ini nantinya ditentukan dalam persidangan ketika gugatan diproses. Dari persidangan itu, sambung Dwi, pihak kejaksaan tetap menghadirkan saksi atau ahli untuk memverifikasi besarnya kerugian dari kasus tersebut. sesuai Pasal 32 UU Tipikor. “Jadi nanti kami tetap hadirkan ahli untuk menghitung kerugian pastinya di persidangan. Bisa BPKP atau ahli pidana,” tutupnya. (ryu/riz/k15)