Pilkada Berpotensi Perparah Penyebaran Covid-19

- Rabu, 21 Oktober 2020 | 12:59 WIB
Pelaksanaan Pilkada di Kaltim beberapa tahun lalu.
Pelaksanaan Pilkada di Kaltim beberapa tahun lalu.

JAKARTA- Pelaksanaan Pilkada 2020 yang digelar di tengah pandemi COVID-19 menemui tantangan besar menyusul terpaparnya para penyelenggara. Pemerintah bersama DPR dan KPU dinilai perlu mengkaji ulang opsi penundaan sementara. 

Sebagaimana diketahui, tiga pimpinan KPU RI sudah terpapar COVID-19 dalam waktu yang berdekatan. Di mulai dari Evi Novida Ginting Manik, kemudian Arief Budiman dan terakhir Pramono Ubaid Tanthowi. Sebelumnya, pimpinan Bawaslu RI Ratna Dewi Pettallo juga sempat terpapar virus yang berasal dari Wuhan itu. 

Direktur Komite Pemantau Legislatif (KOPEL) Indonesia Anwar Razak mengatakan, bukan hanya di jajaran penyelenggara yang mengkhawatirkan. Para kontestan pun sudah banyak yang terpapar. Data KPU RI mencatat ada 60 bakal calon yang dinyatakan positif COVID-19. Kemudian, Bawaslu RI juga menyebut 96 pengawas pemilu di Boyolali, Jawa Tengah terinfeksi COVID-19. 

Dengan fakta tersebut, Anwar menilai pelaksanaan Pilkada 2020 beresiko menciptakan cluster penyebaran baru. "Cluster ini akan sangat berbahaya menjadi sumber penyebaran ke masyarakat di saat proteksi terhadap penyelenggara dan masyarakat oleh pemerintah juga sangat lemah," ujarnya (20/9). 

Untuk itu, pihaknya mendorong pelaksanaan pilkada di tengah pandemi dikaji ulang. "Perlu mempertimbangkan penundaan Pilkada," imbuhnya. Dia menilai, opsi penundaan Pilkada dimungkinkan dalam regulasi. Dalam pasal 120 UU Nomor 6 Tahun 2020 sudah dibuka opsi penundaan jika kondisi tidak memungkinkan. 

Hal senada disuarakan Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem). Direktur Eksekutif Perludem Khoirunnisa Nur Agustyati mengatakan, terpaparnya para pimpinan KPU sudah menunjukkan tanda bahaya. "Kami mendesak KPU, Pemerintah, dan DPR untuk mempertimbangkan pilihan menunda tahapan pelaksanaan pilkada," ujarnya. 

Selama penundaan, lanjut Ninis, KPU, DPR, dan Pemerintah bisa berkoordinasi dengan Satgas Penanganan Covid-19 untuk melihat risiko penularan dan update penanganan Covid-19 di 270 daerah pilkada. Dari situ, dapat dibuat indikator yang terukur kesiapan daerah. Mana yang siap dan di mana yang tidak. 

"Perlu menunda pelaksanaan pilkada, sampai adanya indikator yang terukur dan akurat, dimana penularan Covid-19 dapat dikendalikan," imbuhnya. Selain itu, para stakeholder juga bisa memperbaiki sejumlah regulasi agar sesuai dengan kebutuhannya. Ninis mengingatkan, keselamatan rakyat harus jadi pertimbangan utama. 

Usulan penundaan juga datang dari organisasi islam terbesar di Indonesia Nahdlatul Ulama. Ketua Umum PBNU Said Aqil Siroj mengatakan, setelah mencermati perkembangan yang ada, NU menyampaikan sikap, yaitu meminta kepada KPU dan DPR RI untuk menunda pelaksanaan tahapan Pilkada Serentak 2020. "Hingga tahap darurat kesehatan terlewati," terangnya dalam keterangan resmi yang diterima Jawa Pos. Menurut dia, walaupun dengan protokol kesehatan yang ketat, pelaksanaan pilkada sulit menghindari konsentrasi orang dalam jumlah banyak di seluruh tahapannya. Sebagaimana lazimnya perhelatan politik, momentum pesta demokrasi selalu identik dengan mobilisasi massa.

 Misalnya, kata dia, saat pendaftaran paslon terjadi konsentrasi massa yang rawan menjadi klaster penularan. Buktinya sejumlah penyelenggara pemilu, baik di tingkat pusat maupun daerah terkena Covid-19. "Para calon kontestan Pilkada di beberapa daerah juga positif terjangkit Covid-19," terangnya.

 NU berpendapat bahwa melindungi kelangsungan hidup atau hifdz al-nafs dengan protokol kesehatan sama pentingnya dengan menjaga kelangsungan ekonomi atau hifdz al-mâl masyarakat. Namun, karena penularan Covid-19 telah mencapai tingkat darurat, maka prioritas utama kebijakan negara dan pemerintah harus difokuskan untuk mengentaskan krisis kesehatan. 

Selain penundaan pilkada, kata Said, pihaknya juga meminta dilakukan realokasi anggaran pilkada untuk penanganan krisis kesehatan dan penguatan jaring pengaman sosial. 

Sekretaris Jenderal (Sekjen) Majelis Ulama Indonesia (MUI) Anwar Abbas meminta Pilkada dipertimbangkan lagi. Dia mengatakan, dalam ajaran islam ada kaidah untuk meninggalkan kemafsadatan atau akibat buruk harus didahulukan ketimbang mengambil kemaslahatan atau dampak baik. 

’’Pilkada serentak tentu dimaksudnya akan membawa kemaslahatan kepada kehidupan politik dan demokrasinegeri ini,’’ katanya. Tetapi dia mengatakan negeri ini sedang dilanda wabah Covid-19. Dalam kondisi tersebut, pelaksanaannya cukup mengkhawatirkan khususnya saat masa kampanye maupun sampai penghitungan suara nanti. 

Halaman:

Editor: izak-Indra Zakaria

Rekomendasi

Terkini

Siapkan Formasi Fresh Graduate Pindah ke IKN

Rabu, 24 Januari 2024 | 23:00 WIB

Truk Ambles di Drainase Proyek DAS

Rabu, 24 Januari 2024 | 11:31 WIB

Pengedar Sabu Diciduk Polisi saat Terlelap di Kamar

Rabu, 24 Januari 2024 | 11:30 WIB

Anies Prioritaskan Ketersediaan Lapangan Kerja

Rabu, 24 Januari 2024 | 11:27 WIB

Jepang vs Indonesia, Maju Tak Gentar...!!

Rabu, 24 Januari 2024 | 10:23 WIB

ASTAGA..!! Ada 26 Motor Hilang di Depan BIGmall

Rabu, 24 Januari 2024 | 10:16 WIB

Menantu Luhut Jadi Komisaris Utama Pindad

Rabu, 24 Januari 2024 | 10:11 WIB

Babinsa Sungai Dama Antar Warga ke Rumah Sakit

Rabu, 24 Januari 2024 | 10:09 WIB

18 Kecamatan di Kukar Kekurangan Pengawas TPS

Rabu, 24 Januari 2024 | 10:08 WIB

Algaka Pelanggar di Kukar Mulai Ditertibkan

Rabu, 24 Januari 2024 | 10:05 WIB

Karena Pemilu, Kasus Korupsi KPU Mahulu Terhambat

Rabu, 24 Januari 2024 | 10:05 WIB
X