Dampak Omnibus Law, Perusahaan Tambang Bebas Tidak Membayar Royalti, Kaltim Berpotensi Kehilangan Rp 9 Triliun

- Rabu, 21 Oktober 2020 | 12:53 WIB

Memiliki sumber daya alam yang melimpah, bisa jadi kutukan ketika tak bisa mengelola. Bisa juga jadi nestapa, ketika tak punya kuasa mengelola. Jika begini masyarakatnya bisa menderita.

 

SAMARINDA–Omnibus Law Cipta Kerja masih dianggap sebagai momok. Gelombang protes masih terjadi di mana-mana. Undang-undang sapu jagat yang akan mengurus izin semua masalah investasi disebut bakal banyak merugikan Provinsi Kalimantan Timur. Daerah yang banyak terdapat industri batu bara ini bakal sangat berdampak.

 Tidak hanya masyarakatnya, pekerja, ataupun warga sekitar pertambangan, tetapi juga pemerintah daerah. Lantaran sumber pendapatan dari dana bagi hasil (DBH) bakal berkurang drastis. Hal itu terungkap dalam diskusi peluncuran Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Samarinda "Apakah Omnibus Law Menjawab Krisis Keselamatan Rakyat di Kalimantan Timur?”, Selasa (20/10).

Koordinator Jaringan Advokasi Tambang Nasional (Jatamnas) Merah Johansyah mengatakan, saat ini kondisi Kalimantan Timur sudah dihantam pandemi dan pilkada. "Sedangkan seperti sebelumnya, pilkada diketahui menjadi ladang subur untuk praktik izin tambang. Pengusaha tambang bisa berinvestasi kepada calon kepala daerah dan ketika kepala daerah itu terpilih, mereka akan dengan mudah melakukan dan menguatkan pertambangan," ungkapnya kemarin.

Kondisi ini diperparah dengan disahkannya Omnibus Law Cipta Kerja. Merah menuturkan, dari para penyusun undang-undang sapu jagat ini saja, sudah ditemukan berbagai konflik kepentingan. Tak sedikit dari para penyusun Omnibus Law Cipta Kerja terafiliasi dengan perusahaan-perusahaan tambang di Kalimantan Timur.

Ada yang menjabat menteri hingga ketua di organisasi pengusaha yang memiliki afiliasi dengan tambang PKP2B di Kalimantan Timur. Merah melanjutkan, dalam undang-undang tersebut, masyarakat setempat tidak lagi memiliki hak untuk menolak pertambangan. Pasalnya, urusan izin semua sudah ditarik oleh pemerintah pusat. Bahkan di salah satu ayat, yaitu 128 A menyebutkan jika perusahaan tambang yang mengusahakan hilirisasi pertambangan atau peningkatan nilai dari pertambangan tersebut, akan dimudahkan dengan pembayaran insentif royalti hingga 0 persen.

Artinya, sambung dia, perusahaan tambang tersebut bisa tidak membayar royalti. Jika begini, hal tersebut akan berimbas pada pendapatan negara dari sektor pertambangan. Dan hal ini akan berdampak pada dana bagi hasil (DBH) yang diberikan pusat kepada daerah. Kaltim pun akan sangat terdampak. Mengingat DBH provinsi ini cukup tinggi. Normalnya, disebut Merah, Provinsi Kalimantan Timur bisa mendapat hingga Rp 9 triliun dari DBH.

Namun karena Omnibus Law Cipta Kerja tersebut, DBH akan turun. Meski pertambangan tidak akan berkurang sama sekali di bumi Kalimantan Timur. Sementara itu, akademisi Fakultas Hukum Universitas Mulawarman Haris Retno mengatakan, selama ini masyarakat banyak dicekoki anggapan bahwa pertambangan sangat berdampak pada Kalimantan Timur. Padahal, dari data Badan Pusat Statistik (BPS), hanya 6,7 persen angkatan kerja Kalimantan Timur yang diserap di sektor pertambangan.

Selain itu, industri ini pun tidak ramah perempuan.

"Dari total 6,7 persen itu, hanya 1,2 persen perempuan yang terserap di sektor industri pertambangan," jelas dia dalam diskusi kemarin. Di sisi lain, Saiful Anwar dari Serikat Pekerja Kimia, Energi dan Pertambangan, Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (SP KEP SPSI) mengatakan, anggapan bahwa pekerja tambang bergaji besar itu sebenarnya kurang pas.

Menurut dia, dengan Omnibus Law Cipta Kerja yang baru disahkan DPR, tenaga kerja di pertambangan akan semakin dieksploitasi. Saat ini saja, para buruh di pertambangan bekerja sekitar 12 jam dalam sehari. Baik di draf omnibus law versi 1.035 halaman ataupun 812 halaman. Dia menerangkan, hari kerja atau waktu kerja para buruh pertambangan sangat berisiko dieksploitasi.

Ketentuan 8 jam dalam sehari itu tidak berlaku bagi pertambangan. "Urusan upah pekerja tambang sebenarnya memprihatinkan,” katanya. Dia lalu mencontohkan kondisi pekerja tambang di salah satu PK2B di Kaltim. “Ketika tidak ada lembur, semua teriak karena take home pay yang diterima itu kecil. Mereka menyadari bahwa gaji mereka itu kecil," kata Saipul.

Selama ini, baik pemerintah maupun masyarakat banyak terpaku bahwa take home pay (THP) para pekerja tambang itu besar. Angka THP agak besar itu menjadi wajar karena mereka dibayar termasuk lembur tiap hari selama 4 jam. Namun, saat ini upah minimum sektoral tambang juga dihapus. Sehingga tidak ada lagi kesempatan untuk mendapatkan upah di atas upah minimum kota. Sementara itu, Manajer Kajian Kebijakan Eksekutif Nasional Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Boy Even Sembiring menyebut, adanya Omnibus Law Cipta Kerja akan memudahkan ruang eksploitasi.

Halaman:

Editor: izak-Indra Zakaria

Tags

Rekomendasi

Terkini

Siapkan Formasi Fresh Graduate Pindah ke IKN

Rabu, 24 Januari 2024 | 23:00 WIB

Truk Ambles di Drainase Proyek DAS

Rabu, 24 Januari 2024 | 11:31 WIB

Pengedar Sabu Diciduk Polisi saat Terlelap di Kamar

Rabu, 24 Januari 2024 | 11:30 WIB

Anies Prioritaskan Ketersediaan Lapangan Kerja

Rabu, 24 Januari 2024 | 11:27 WIB

Jepang vs Indonesia, Maju Tak Gentar...!!

Rabu, 24 Januari 2024 | 10:23 WIB

ASTAGA..!! Ada 26 Motor Hilang di Depan BIGmall

Rabu, 24 Januari 2024 | 10:16 WIB

Menantu Luhut Jadi Komisaris Utama Pindad

Rabu, 24 Januari 2024 | 10:11 WIB

Babinsa Sungai Dama Antar Warga ke Rumah Sakit

Rabu, 24 Januari 2024 | 10:09 WIB

18 Kecamatan di Kukar Kekurangan Pengawas TPS

Rabu, 24 Januari 2024 | 10:08 WIB

Algaka Pelanggar di Kukar Mulai Ditertibkan

Rabu, 24 Januari 2024 | 10:05 WIB

Karena Pemilu, Kasus Korupsi KPU Mahulu Terhambat

Rabu, 24 Januari 2024 | 10:05 WIB
X