Puluhan tahun dihabiskannya di hutan-hutan Sumatera untuk melakukan penelitian dan penyelamatan orang utan. Dari yang berhasil diselamatkan, ada yang kena tembak, ada yang kehilangan mata, ada pula yang remuk dipukuli.
TAUFIQURRAHMAN, Jakarta, Jawa Pos
IAN pernah bertahan dua tahun di dalam hutan. Pernah pula nyaris seminggu tidak mandi, tidak berganti baju, dan tidak makan. ’’Sibuk untuk mengamati dan membuat paper,’’ kata Ian Singleton kepada Jawa Pos (19/10).
Pada pertengahan 1990-an itu, pria Inggris tersebut sedang menyelesaikan disertasi tentang wilayah pergerakan orang utan sumatera di Taman Nasional Gunung Leuser. Dia menghabiskan waktu bertahun-tahun menyusuri hutan rawa gambut di Rawa Singkil di Aceh Selatan, membuntuti orang utan yang berayun dari pohon ke pohon sambil membuat catatan.
Total 30 tahun hidupnya dihabiskan untuk melakukan penelitian dan konservasi orang utan. Dedikasi yang tak hanya membawanya meraih PhD di Universitas Kent, Inggris, pada 2000. Tapi juga membuatnya dianugerahi gelar bergengsi Order of the British Empire (OBE) dari Kerajaan Inggris.
OBE pertama dianugerahkan di masa pemerintahan Raja Inggris George V pada 1917 untuk mengapresiasi jasa para pejuang nonkombatan yang berjasa pada Perang Dunia I. Saat ini OBE diberikan kepada warga kerajaan yang berkontribusi nyata terhadap ilmu pengetahuan, seni, ataupun kegiatan amal.
Ian kembali ke Indonesia pada 2001 dan mendirikan Sumatran Orangutan Conservation Programme (SOCP) di bawah naungan Yayasan PanEco yang berbasis di Swiss dan bekerja sama dengan partner local, yakni Yayasan Ekosistem Lestari (YEL) serta Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK).
Dari situlah Ian mendedikasikan seluruh waktunya untuk kegiatan pelestarian orang utan. Mulai penyelamatan, karantina, reintroduksi, sampai preservasi habitat.
Ian juga termasuk di antara kelompok ilmuwan yang pada 2017 memperkenalkan spesies orang utan tapanuli yang menghuni rimbunan Hutan Batang Toru, Tapanuli Selatan, Sumatera Utara.
Keberadaan orang utan, baik orang utan sumatera (Pongo abelii) maupun orang utan tapanuli (Pongo tapanuliensis), senantiasa berada dalam bayang-bayang berbagai ancaman. Mulai perambahan habitat, konflik dengan warga lokal, hingga perburuan dan penangkapan liar.
Orang utan sumatera (Pongo abelii) berbeda dengan orang utan borneo (Pongo pygmaeus). Berbeda juga dengan orang utan tapanuli (Pongo tapanulienses) yang habitatnya berada di ekosistem Batang Toru, Sumatera Utara. Ketiga spesies orang utan terdaftar sebagai ’’sangat terancam punah’’ oleh International Conservation Union (IUCN) dalam ’’daftar merah spesies terancam’’ (Ancrenaz et al 2016).
Orang utan tapanuli punya problem khas berupa menurunnya kualitas genetik karena habitatnya yang terisolasi dan terkepung aktivitas manusia. Saat ini tercatat tinggal 800 ekor orang utan tapanuli yang hidup di Hutan Batang Toru. Dibandingkan dengan sepupu mereka, orang utan sumatera, yang jumlahnya lebih baik, 13.400 ekor.