SAMARINDA–Pemilihan kepala daerah (pilkada) digelar dengan biaya yang tak sedikit. Ada uang daerah yang menyubsidi gelaran pesta demokrasi ini. Di sisi lain, para kandidat perlu merogoh kocek untuk turut serta membangun kesadaran politik masyarakat lewat kampanye, selain menyosialisasikan diri.
Biaya mobilisasi dukungan politik atau dana kampanye itu perlu dikatrol, sehingga jalannya pesta demokrasi bisa lebih sehat dari tindakan lancung yang merusak muruah pemilu. Wujud kampanye murah pun muskil tercipta jika menilik biaya yang diperlukan. Di Samarinda, setiap pasangan calon (paslon) memiliki batas penerimaan dan pembiayaan kampanye sebesar Rp 14,7 miliar. “Batas dari dana kampanye ini untuk memastikan agar paslon mengunakan dana yang sah, diatur undang-undang,” ucap Ketua KPU Samarinda Firman Hidayat, (19/10).
Lebih lanjut dituturkan Komisioner KPU Samarinda Divisi Hukum dan Pengawasan Nina Mawaddah. Pelaporan dana kampanye terbagi jadi tiga tahapan. Yakni laporan awal dana kampanye (LADK), laporan penerimaan sumbangan dana kampanye (LPSDK), dan laporan penerimaan dan pengeluaran dana kampanye (LPPDK). LADK sudah diajukan ketiga paslon yang berlaga di Pilkada Samarinda 2020.
Lewat piranti sistem dana kampanye (Sidakam) merujuk sesuai PKPU 13/2020 tentang Pilkada Serentak 2020 Lanjutan Dalam Kondisi Covid-19 pada 26 September lalu. “Dari LADK, mereka mesti menyusun dana awal saja, akhir Oktober ini harus dipugar datanya dengan melaporkan penerimaan sumbangan yang diperoleh selama kampanye berjalan,” ulasnya. Ketiga paslon punya dana awal yang berbeda. Barkati-Darlis tercatat memiliki dana awal kampanye sebesar Rp 15 juta, Andi Harun-Rusmadi Wongso Rp 20 juta, dan Zairin Zain-Sarwono Rp 50 juta.
Untuk penerimaan dana kampanye, sambung Nina, merujuk PKPU yang berlaku hanya bisa berasal dari tiga sumber. Yakni dana dari pasangan calon, partai politik, hingga pihak lain yang diatur undang-undang seperti perseorangan atau koorporasi. “Sumbernya hanya tiga itu. Untuk penggunaannya pun sudah ditentukan, seperti pembiayaan rapat umum, pertemuan terbatas atau tatap muka, pembuatan bahan dan alat peraga kampanye,” tuturnya.
Secara umum, semua laporan itu wajib dilaporkan. Namun, sanksi hanya bisa diterapkan di LPPDK pada 6 Desember mendatang. Sehari selepas masa kampanye berakhir. Jika paslon tak melaporkan, KPU bisa mencabut status mereka sebagai calon kepala dan wakil kepala daerah yang maju di pilkada.
Lalu, bagaimana publik memverifikasi kebenaran dana kampanye yang digunakan para paslon dan tim pemenangannnya tersebut? Menurut Nina, penggunaan dana selama masa kampanye dalam LPPDK yang dilaporkan akan diperiksa kantor akuntan publik yang ditentukan KPU RI. Dari audit LPPDK itu, auditor yang ditunjuk bakal merilis hasil pemeriksaan berupa rekomendasi sejauh mana kepatuhan dan kepatutan alur dana yang diterima hingga digunakan. “Untuk diakses dan dipantau rutin publik emang enggak bisa. Namun, di setiap tahapan bakal diumumkan KPU, dari mana penerimaan dan seperti apa penggunaanya,” singkatnya. (ryu/riz/k16)