Lebih sepuluh tahun berlalu sejak Taman Baca Multatuli didirikan Ubaidilah Muchtar. Kini taman baca yang berada di antara tiga kaki gunung itu berkembang menjadi pusat literasi anak-anak setempat.
M. HILMI SETIAWAN, Lebak, Jawa Pos
Aku tidak tahu di mana aku akan mati. Aku pernah melihat laut lepas di Pantai Selatan, ketika aku di sana membuat garam bersama ayahku. Jika aku mati di lautan, dan mereka membuang jasadku ke air dalam, hiu-hiu akan datang.
….
SAJAK Saijah untuk Adinda tersebut dibacakan dengan cukup baik oleh Siti Nur Agnia. Sesekali dia memandang sejumlah foto Multatuli yang berjejer di dinding anyaman bambu. Seolah berusaha meresapi suasana hati Multatuli saat menulis sajak yang ada dalam novel Max Havelaar itu. Multatuli adalah nama pena dari Eduard Douwes Dekker.
Saat Siti Nur Agnia membaca sajak, teman-temannya duduk melingkar. Mereka mendengarkan dengan antusias. Begitulah suasana di Taman Baca Multatuli yang berada di pedalaman Kabupaten Lebak, Banten, saat Jawa Pos berkunjung ke sana Selasa lalu (13/10). Untuk mencapai lokasinya harus menyusuri jalan selebar hampir 2 meter. Berkendara dengan mobil Avanza, lebar jalan benar-benar pas. Samping tebing. Sisi lainnya jurang serta area persawahan.
Taman Baca Multatuli berlokasi di Kampung Ciseel, Desa Sobang, Kecamatan Sobang. Dari jalan besar, harus melalui tiga gunung, yaitu Gunung Hanarusa, Pasir Bentang, dan Tenyolat. Taman bacanya sendiri diapit tiga kaki gunung sekaligus: Gunung Batu, Pasir Seel, dan Pasir Padali.
Taman baca yang berada di tebing dengan ketinggian sekitar 3 meter dari jalan kampung itu didirikan Ubaidilah Muchtar pada 10 November 2009. Saat itu Ubay, panggilannya, bertugas sebagai guru di SMPN 3 Sobang.
Saat ini Ubay berdinas sebagai kepala Seksi Cagar Budaya dan Permuseuman Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Kabupaten Lebak. Lebih spesifik lagi, dia mengurus Museum Multatuli yang berada di jantung Kabupaten Lebak. Persis di samping Alun-Alun Rangkasbitung, ibu kota Kabupaten Lebak. Sepeninggal Ubay, Taman Baca Multatuli diurus Aliyudin, pemuda setempat. ”Saya dulu muridnya Pak Ubay di sekolahan,” kata pria kelahiran Lebak, 13 November 1995, tersebut.
Siang itu Ali (sapaan Aliyudin) bersama anak-anak Kampung Ciseel sedang berkegiatan di Taman Baca Multatuli. Menurut Ali, kegiatan di taman baca tetap berjalan normal meski saat ini sedang musim pandemi Covid-19. Saat itu ada sejumlah anak yang membaca aneka komik. Ada juga yang asyik bermain monopoli.
Taman baca yang berada di kampung berisi sekitar 90 KK itu bukan hanya tempat literasi. Tetapi juga menjadi taman bermain anak-anak. Sebab, fasilitas permainan di sana terbatas. Sinyal telepon tidak ada. Tetapi, warga bisa memanfaatkan jaringan wifi internet lokal yang disediakan keluarga Ali.
Alumnus Sekolah Tinggi Keguruan dan Ilmu Pendidikan (STKIP) Setia Budhi Rangkasbitung Jurusan Bahasa Indonesia itu mengatakan, keberadaan Taman Baca Multatuli benar-benar mengubah keseharian anak-anak di sana. ”Di sini pedalaman sekali, jauh dari modern. (Dahulu, Red) sepulang sekolah anak-anak cari kayu bakar ke hutan atau menggembala kambing,” ungkapnya.