Sementara proses gasifikasi akan dilakukan oleh PT Bukit Asam sebagai upaya substitusi liquified petroleum gas (LPG) melalui dimethyl ether (DME) yang beroperasi pada 2024. Hal serupa dilakukan oleh PT KPC dengan kapasitas kurang lebih 4 juta ton.
Untuk penambahan pabrik briket direncanakan rampung pada 2026 dan 2028 berkapasitas 20 ribu ton per tahun, sedangkan rencana dua fasilitas cokes making akan selesai di tahun yang sama dengan kapasitas kurang lebih satu juta ton.
Demi mempercepat proses hilirisasi, sambung Sujatmiko, pemerintah telah menyiapkan insentif fiskal dan non-fiskal agar proyek hilirisasi lebih ekonomis. Insentif non-fiskal yang diberikan antara lain berupa izin usaha selama umur cadangan tambang. Artinya, izin usaha pertambangan tidak lagi dibatasi 20 tahun.
Sementara insentif fiskal berupa pembebasan royalti bagi batu bara yang dijadikan bahan baku hilirisasi. Royalti nol persen itu diyakini tidak akan mengurangi penerimaan negara. Pasalnya, hilirisasi mampu menciptakan efek berganda yakni membuka lapangan kerja serta menggerakkan roda perekonomian daerah.
Dengan efek berganda itu, maka penerimaan negara yang hilang dari royalti nol persen akan tersubstitusi. “Kalau industri jalan maka secara agregat pajak memberi keuntungan bagi negara. Bagi daerah juga berdampak untuk pengembangan infrastruktur dan ekonomi penunjang,” ujarnya.
Sujatmiko memastikan potensi sumber daya batu bara di Indonesia cukup besar dengan total 149 miliar ton dengan total cadangan hingga 38 miliar ton. “Aset ini harus jadi return, bagaimana batu bara terus memberikan manfaat bagi bangsa dan negara,” tutupnya. (aji/ndu/k15)