Sosialisasi Kolom Kosong, Malah Dituduh Menggembosi Calon Tunggal

- Minggu, 18 Oktober 2020 | 20:00 WIB

DINAMIKA politik di Kota Balikpapan dan Kabupaten Kutai Kartanegara (Kukar) memunculkan calon tunggal pada Pilkada 2020. Dalam diskusi yang diselenggarakan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) Universitas Mulawarman (Unmul) pekan lalu, akademisi Unmul Jauchar Barlian menjabarkan peta politik di dua daerah tersebut.

Di Balikpapan, terang dia, ada Rahmad Mas'ud yang saat ini menjabat wakil wali kota Balikpapan. Selaku calon wali kota, Rahmad Mas'ud memiliki modal popularitas dan kuasa modal, sehingga bisa memborong partai politik. Pun begitu di Kukar dengan sosok Edi Damansyah. Juga memiliki modal popularitas dan kuasa modal. "Hal yang menarik di dua daerah ini adalah ketika calon ini maju tidak ada calon independen yang berani maju," kata Jauchar.

Padahal, jika menarik pada pemilihan kepala daerah (Pilkada) 2015, di Kukar ada sosok Rita Widyasari yang berpasangan dengan Edi Damansyah yang maju dari jalur independen. Wajar mereka berani maju. Namun, yang perlu diingat, sambung Jauhar, mereka memiliki kuasa modal dan popularitas yang cukup besar, khususnya yang dimiliki Rita Widyasari.

"Ketika calon tunggal berhadapan dengan kotak kosong, kita akan melihat konsolidasi dari dua kubu yang berhadapan. Calon tunggal dengan dayanya mengerahkan seluruh tim suksesnya mengarahkan agar masyarakat bisa memilih mereka," tambahnya.

Hal ini menjadi tantangan bagi mereka yang mengarahkan masyarakat ke kotak kosong. Karena itu kekuatan calon tunggal menjadi kunci.

Dalam kesempatan sama, Komisioner Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) RI M Afifuddin mengatakan, banyak calon kepala daerah di Indonesia yang melakukan aksi borong tiket Pilkada Serentak 2020. Kondisi ini tentu tidak lepas dari kemauan partai politik yang juga merupakan bagian dari instruksi ketua partai politik.

Diterangkan, dari hasil kajian Bawaslu, saat ini ada dua pola calon tunggal yang terjadi. Pertama, sejak awal pendaftaran hanya ada satu calon kepala daerah yang mendaftar ke KPU. Pola kedua, misalnya satu daerah ada dua calon kepala daerah yang maju, tapi setelah penilaian, ternyata salah satunya tidak memenuhi syarat atau melakukan pelanggaran, sehingga didiskualifikasi.

"Masalah yang terjadi, ketika dalam proses pelaksanaan pilkada itu sendiri, ketika ada kecurangan dari calon tunggal tersebut, peneguran bisa dianggap sebagai keberpihakan terhadap kotak kosong. Seperti situasi di Makassar saat itu (Pilwali Makassar 2018). Begitu pelik hingga ke kecamatan dan apalagi pemilu di situ menjadi preseden pertama bahwa kotak kosong menang melawan calon tunggal," jelasnya.

Adanya calon tunggal ini, disebut Afif sebenarnya sudah bermasalah sejak sebelum ada pencalonan. Sayangnya ini menjadi ruang kosong yang tidak bisa dijangkau oleh aturan-aturan pilkada. Komisioner KPU Hasyim Asyari melanjutkan, angka calon tunggal dan kotak kosong trennya terus meningkat. Tahun ini saja ada 25 daerah yang memiliki calon tunggal. Namun, 25 daerah ini belum lengkap karena masih ada beberapa daerah yang calonnya berproses dengan hukum terkait pencalonannya.

"Namun, aturan jelas mengatakan bahwa gugatan itu diterima maksimal 30 hari sebelum pencoblosan. Sehingga angka fix baru bisa diketahui setelah 9 November nanti," jelasnya. Dia mengungkapkan, saat ini KPU dalam posisi dilematis. Sebab, menurut undang-undang, mereka yang melakukan kampanye adalah para peserta pilkada.

“Para peserta pilkada adalah para calon tunggal. Jadi, yang bisa melakukan kampanye adalah para calon tunggal, di luar itu tidak bisa. Sekarang, yang jadi pertanyaan adalah kolom kosong itu peserta pilkada atau tidak, punya visi misi atau tidak,” terangnya.

Di sisi lain, KPU juga harus menyosialisasikan bahwa mencoblos kolom kosong itu sah.

Tetapi muncul persoalan lagi. Karena bisa dianggap upaya mengampanyekan kolom kosong. Padahal maksudnya adalah menyosialisasikan. ”Hal ini problematik karena bisa dituduh menggembosi calon tunggal," papar Hasyim. Sementara itu, Abdul Hamid, dosen Universitas Sultan Ageng Tirtayasa menuturkan, adanya praktik memborong partai politik bisa berisiko ada transaksi mahar politik. Padahal, dalam aturan, parpol dilarang menerima imbalan dari pencalonan kepala daerah.

Jika parpol menerima imbalan dari kepala daerah, parpol tersebut tidak bisa mengajukan calon kepala daerah lagi di pilkada selanjutnya. Orang yang memberikan imbalan juga bisa didiskualifikasi pencalonannya. Tidak hanya sanksi tersebut, dalam undang-undang pilkada, praktik ini juga bisa diganjar dengan sanksi penjara atau denda.

Halaman:

Editor: izak-Indra Zakaria

Tags

Rekomendasi

Terkini

Siapkan Formasi Fresh Graduate Pindah ke IKN

Rabu, 24 Januari 2024 | 23:00 WIB

Truk Ambles di Drainase Proyek DAS

Rabu, 24 Januari 2024 | 11:31 WIB

Pengedar Sabu Diciduk Polisi saat Terlelap di Kamar

Rabu, 24 Januari 2024 | 11:30 WIB

Anies Prioritaskan Ketersediaan Lapangan Kerja

Rabu, 24 Januari 2024 | 11:27 WIB

Jepang vs Indonesia, Maju Tak Gentar...!!

Rabu, 24 Januari 2024 | 10:23 WIB

ASTAGA..!! Ada 26 Motor Hilang di Depan BIGmall

Rabu, 24 Januari 2024 | 10:16 WIB

Menantu Luhut Jadi Komisaris Utama Pindad

Rabu, 24 Januari 2024 | 10:11 WIB

Babinsa Sungai Dama Antar Warga ke Rumah Sakit

Rabu, 24 Januari 2024 | 10:09 WIB

18 Kecamatan di Kukar Kekurangan Pengawas TPS

Rabu, 24 Januari 2024 | 10:08 WIB

Algaka Pelanggar di Kukar Mulai Ditertibkan

Rabu, 24 Januari 2024 | 10:05 WIB

Karena Pemilu, Kasus Korupsi KPU Mahulu Terhambat

Rabu, 24 Januari 2024 | 10:05 WIB
X