Jangankan tetangga, suaminya juga tak paham dengan dunia tulis-menulis yang digeluti Muna Masyari. Tapi, sedari kecil, kata-kata adalah sayap yang menerbangkan Muna melintasi kesulitan dan keterbatasan.
ONGKY ARISTA U.A., Pamekasan, Jawa Pos
KATA demi kata yang dirangkainya telah menjadi sayap bagi Muna Masyari. Menerbangkannya jauh dari tempatnya bermukim. Membawanya melintasi berbagai demarkasi.
Kampung tempatnya tinggal, Dusun Gunung Dua, Desa Larangan Badung, Kecamatan Palengaan, Kabupaten Pamekasan, Madura, Jawa Timur (Jatim), bisa dibilang ”gaib.” Bayangkan, petugas kantor pos saja sering menyerah.
Jadilah cerpenis penerima Anugerah Sutasoma 2020 dari Balai Bahasa Provinsi Jawa Timur (BBJT) itu kerap ditelepon petugas pos. ”Saya diminta mengambil kiriman jauh dari rumah,” katanya, lalu tersenyum.
Namun, situasi pedalaman itu ternyata menguntungkan perempuan yang bernama asli Munawaro M. tersebut. Jauh dari hiruk pikuk dan kebisingan yang menghunjam, akhirnya dia tekun menulis cerita pendek.
Kesunyian, bagi Muna, seolah mendengungkan banyak ide cerita. Berkat karya-karya yang lahir dari menjahit kesunyian menjadi rangkaian cerita itulah, nama perempuan yang putus sekolah di jenjang SD tersebut jauh melampaui desanya.
”Saya jarang keluar rumah untuk bisa terus produktif,” ujarnya kemarin (16/10).
Perempuan kelahiran 1985 itu menyukai dunia tulis-menulis sejak duduk di bangku SDN Plakpak 5. Berawal dari guru kelasnya yang sering bolos mengajar.
”Para murid disuruh ke perpus dan di sana saya membaca dan mulai tertarik menulis cerita,” kenangnya kepada Jawa Pos Radar Madura (JPRM).
Muna terlahir dari keluarga yang kurang mampu. Pendidikan terakhirnya hanya sampai SD. Masa kecilnya pun dihabiskan untuk membantu orang tua.
Tapi, di sela-sela membantu orang tua, dia selalu menyempatkan diri membaca. Kecintaannya itu memotivasinya menulis apa saja.