Omnibus Law Tak Akomodasi Perusahaan Lokal dan UMKM

- Rabu, 14 Oktober 2020 | 15:14 WIB

JAKARTA – Omnibus law tidak mendukung cita-cita pemerintah untuk memajukan industri padat karya. Direktur Eksekutif Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Tauhid Ahmad menganggap undang-undang sapu jagat itu tak mengakomodasi perusahaan lokal maupun UMKM (usaha mikro, kecil, dan menengah). Sebaliknya, regulasi tersebut malah memberi karpet merah investor padat modal.

Tauhid menegaskan, kendala utama sektor UMKM adalah pemasaran. Bukan soal pendaftaran dan perizinan belaka. Seharusnya, omnibus law menjadi kerangka bagi investasi dalam negeri untuk mewujudkan peralihan teknologi pada perusahaan lokal dan UMKM. Boleh sebagian atau seluruhnya.

’’Dengan demikian, gap kapasitas teknologi perusahaan lokal dan perusahaan asing bisa berkurang. Perusahaan lokal dan UMKM tanah air akan berkembang menjadi mitra yang sejajar,’’ papar Tauhid kepada Jawa Pos kemarin (13/10).

Seiring berkembangnya zaman, industri padat karya kian terkikis dengan industri padat modal. Tauhid menyatakan, proporsi investasi asing langsung (foreign direct investment/FDI) di Indonesia dalam lima tahun terakhir cenderung ke sektor tersier. Yakni, jasa dan telekomunikasi.

Sektor itu lebih condong pada industri padat modal yang mengandalkan teknologi dan tidak membutuhkan banyak tenaga kerja. Praktis, multiplier terhadap penyerapan tenaga kerja menjadi rendah.

Sementara itu, peneliti Indef Bhima Yudhistira Adhinegara menyebut omnibus law tidak memiliki fokus. Di satu sisi, pemerintah ingin ada lembaga pengelola aset (Sovereign Wealth Fund/SWF) yang uangnya bisa dikelola manajemen investasi pada surat berharga. Di sisi lain, pada klaster ketenagakerjaan, hak pekerja dipangkas untuk menarik investasi padat karya.

Di bidang start-up, pemerintah membuka ruang untuk tenaga kerja asing (TKA). Pada klaster pangan, yang didorong adalah importer pangan. ’’Jadi, jenis investasi apa yang sebenarnya ingin didorong?’’ kritik Bhima.

Menurut dia, Omnibus Law Cipta Kerja hanya menjadi alat bagi investor yang punya kepentingan usaha dengan para pejabat pemerintah. Itu terlihat dari susunan satgas dan pembahasan yang ekspres. Misalnya, revisi UU Mineral dan Batubara (Minerba). ’’Terlihat ada konflik kepentingan antara pembuat omnibus law dan bisnis ekstraktif sumber daya alam (SDA),’’ ucapnya.

Di sisi lain, Direktur Eksekutif Indonesia Property Watch Ali Tranghanda menuturkan, belum ada hal spesifik soal penyediaan hunian rakyat pada omnibus law. Seharusnya, perlu ada pasal yang membahas ketersediaan bank tanah untuk hunian masyarakat berpenghasilan rendah dan perkotaan. ’’Mengingat saat ini bank tanah lebih diarahkan pada penyediaan tanah untuk kepentingan umum, kepentingan sosial, serta mendukung investasi bagi kawasan ekonomi khusus dan industri,’’ ungkap Ali.

Bank tanah untuk hunian nantinya tidak hanya dari tanah negara yang sudah ada. Juga, tidak harus melalui pembelian lahan. Bisa memberdayakan tanah-tanah BUMN/BUMD untuk sebagian disiapkan. Termasuk tanah-tanah yang jadi kewajiban pengembang swasta melalui hunian berimbang. (han/c18/hep)

Editor: izak-Indra Zakaria

Rekomendasi

Terkini

Pabrik Rumput Laut di Muara Badak Rampung Desember

Senin, 22 April 2024 | 17:30 WIB

Di Berau Beli Pertalite Kini Pakai QR Code

Sabtu, 20 April 2024 | 15:45 WIB

Kutai Timur Pasok Pisang Rebus ke Jepang

Sabtu, 20 April 2024 | 15:15 WIB

Pengusaha Kuliner Dilema, Harga Bapok Makin Naik

Sabtu, 20 April 2024 | 15:00 WIB
X