Sebelum pandemi, para TKI di Korsel yang kuliah di Universitas Terbuka diwajibkan menjalani sesi tatap muka. Menlu Retno Marsudi menyebut mereka teladan untuk keberhasilan membagi waktu, tenaga, dan pikiran hingga lulus.
M. Hilmi Setiawan, Jawa Pos, Jakarta
SEKALI dalam tiga pekan Indriani menjadi ’’zombi’’. Mulai Sabtu sore sampai Senin pagi tidak tidur. Gentayangan dari pabrik ke kampus. Tapi, pengorbanannya tak sia-sia. Sabtu lalu (10/10) dia diwisuda. Sebagai sarjana, tentu saja. Bukan sebagai dedemit.
’’Saya bersyukur bisa lulus dengan nilai yang cukup baik,” katanya kepada Jawa Pos (12/10). Indriani adalah satu dari 19 tenaga kerja Indonesia (TKI) di Korea Selatan (Korsel) yang diwisuda sebagai sarjana S-1 Universitas Terbuka (UT). Indri lulus dari jurusan manajemen fakultas ekonomi dengan IPK (indeks prestasi kumulatif) 3,00.
Perempuan kelahiran Grobogan, Jawa Tengah, 12 Januari 1992, itu berangkat bekerja ke Korsel pada 2014. Dia bekerja di sebuah pabrik pengolahan kapas menjadi benang sampai kain di Daegu.
Jam kerjanya panjang, 12 jam. Untuk sif pagi mulai 05.30 sampai 17.30 waktu setempat. Sif malam mulai 17.30 sampai 05.30.
Itu yang membuat ibu satu anak tersebut ada kalanya tidak memiliki waktu untuk tidur. Sebab, sistem perkuliahan di UT Korsel mengharuskan adanya sesi tatap muka.
Kegiatan tatap muka ini dijalankan setiap hari Minggu. Umumnya digelar selama dua bulan dalam satu semester.
Tantangan terberatnya ketika kebagian sif malam di hari Sabtu. Sebab, itu berarti dia baru selesai bekerja Minggu subuh pukul 05.30 waktu setempat.
Setelah itu, dia harus bersiap berangkat ke kampus untuk mengejar kuliah tatap muka yang digelar sekitar pukul 09.00 waktu setempat. Perkuliahan tatap muka itu berlangsung sampai pukul 15.00. Padahal, dua setengah jam kemudian, dia harus kembali bekerja sif malam.
’’Otomatis saya baru bisa beristirahat Senin pagi selepas kerja,” kenang Indriani yang sejak Februari 2019 sudah balik ke Grobogan.