Lirik Pajak Sektor Digital dan Pertanian, TKA Tetap Dipajaki

- Selasa, 13 Oktober 2020 | 18:24 WIB
ilustrasi
ilustrasi

JAKARTA– Pengesahan UU Cipta Kerja menjadi jalan bagi pemerintah untuk terus mengejar potensi penerimaan pajak dari berbagai sektor. Dalam bele-id itu, salah satu poin yang dibahas yakni reformasi regulasi pada klaster perpaja-kan.

Kepala Badan Kebijakan Fiskal (BKF) Kementerian Keuangan Febrio Kacaribu menyebut, hingga kini masih banyak sektor yang belum optimal penerimaan pa-jaknya. Untuk itu, pemerintah akan mulai memajaki sektor-sektor yang belum ter-garap dengan maksimal itu.

‘’Bagaimana kita mulai memajaki sektor yang selama ini belum dipajaki. Se-lain sektoral, sebelum masuk ke situ, ada semacam sektor yang selama ini makin tidak terpajaki itu adalah sektor digital. Di situlah pentingnya pengenalan pajak digital yang sudah dikenalkan Kemenkeu, adalah PMSE (perdagangan melalui sis-tem elektronik),’’ ujar dia dalam diskusi virtual di Jakarta, kemarin (12/10).

Febrio menjelaskan, kondisi itu disebabkan karena gaya hidup dan konsumsi masyarakat banyak mengarah ke sektor digital. Sehingga, akan sayang apabila potensi penerimaan tersebut tidak digali.

Selain sektor digital, pemerintah juga akan menyasar sektor pertanian. Hal itu bertujuan agar kepatuhan pajak bagi pengusaha-pengusaha besar di sektor pertanian bisa meningkat.

Febrio menggarisbawahi, pemerintah tidak sedang berusaha memajaki peta-ni dengan lahan yang sangat kecil. Justru, petani yang memiliki omzet cukup besar yang akan disasar.

‘’Kita sedang memastikan petani yang omzetnya cukup besar, kalau nggak salah Rp 2 miliar harusnya bayar pajak secara disiplin. Nah ini meningkatkan basis pajak memang nggak mudah,’’ tutur dia.

Selain digital dan pertanian, ada pula potensi pajak sektor UMKM. Meski ba-nyak UMKM yang termasuk pengusaha informal, namun dia menyebut ada potensi penerimaan yang cukup besar. ‘’Porsi UMKM sangat besar sehingga threshold PKP (Pengusaha Kena Pajak) Rp 4,8 miliar, menyebabkan pajak dengan rezim normal makin kecil dan rezim PPh final bertambah,’’ imbuh dia.

Berbagai upaya itu dilakukan dengan tujuan untuk meningkatkan penerimaan dan rasio pajak yang lebih tinggi. Rasio pajak yang rendah menjadi cerminan pendapatan negara yang tertekan. Padahal, di saat yang sama, pemerintah terus menggelontorkan belanja untuk mengakselerasi pertumbuhan ekonomi. Hal itu berdampak pada defisit APBN yang terus melebar.

Febrio melanjutkan, jika penerimaan pajak terus tertekan, hal itu akan men-jadi risiko fiskal. Dengan risiko fiskal, appetite para investor pada surat utang pe-merintah menjadi rendah.

Meski begitu, dia mengakui bahwa dampak reformasi ke rasio pajak tidak akan terjadi secara instan dalam hitungan satu atau dua tahun. Efeknya baru bisa dirasakan secara bertahap hingga mencapai target yang ditetapkan.

Seperti diketahui, dalam postur APBN terbaru, target rasio pajak dipangkas menjadi 8,57 persen terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) dari semula 10,57 persen hingga 11,18 persen.

Sejalan dengan hal itu, Dirjen Pajak Suryo Utomo membantah kabar yang menyebut bahwa tenaga kerja asing (TKA) dibebaskan pajaknya. Suryo memasti-kan, TKA akan tetap memiliki kewajiban pajak.

Suryo menyebut, pemerintah hanya akan memungut Pajak Penghasilan (PPh) pekerja asing atas pendapatan yang diterima di Indonesia selama 4 tahun pertama. Nantinya, jika setelah 4 tahun pekerja asing itu masing masih berada di Indonesia, maka pemerintah akan memberlakukan rezim pajak normal. Sebab, Indonesia menganut basis pajak world wide income base yakni pemerintah hanya memberikan kelonggaran untuk 4 tahun awal agar menarik datang ke Indonesia. Dengan begitu, diharapkan ada transfer keahlian yang didapat dari TKA itu saat berada di Indonesia.

Halaman:

Editor: izak-Indra Zakaria

Tags

Rekomendasi

Terkini

Kontribusi BUM Desa di Kalbar Masih Minim

Kamis, 25 April 2024 | 13:30 WIB

Pabrik Rumput Laut di Muara Badak Rampung Desember

Senin, 22 April 2024 | 17:30 WIB
X