Pengakuan Mahasiswa yang Stress, Sempat Ingin Akhiri Hidup, Jalani Pengobatan 15 Bulan

- Selasa, 13 Oktober 2020 | 13:05 WIB
ilustrasi
ilustrasi

TAHUN pertama dan kedua kuliah, dirasakan Abe–bukan nama sebenarnya–cukup berat. Dia tak menyangka bahwa kuliah kedokteran akan seberat itu. Sebab, sebelumnya dia sempat merasakan bagaimana menjadi mahasiswa akuntansi di salah satu universitas di Jawa.

“Aku sudah jadi mahasiswa akuntansi. Nah setahun kemudian aku daftar lagi di kedokteran dan keterima. Atas permintaan Bapak-Ibu juga,” ujarnya. Belum lagi, itu adalah kali pertama Abe hidup sendiri di luar pulau sebagai mahasiswa perantau.

Merasa kesulitan, dia mencoba untuk terus beradaptasi. Menghadapi tekanan mata kuliah, belum lagi bagaimana ekspektasi mahasiswa kedokteran yang dikenal sebagai “anak pintar”.

Hingga saat dia pulang kampung ke Jawa, diceritakan jika orangtuanya dapat melihat jelas raut mukanya yang stres. Disarankan untuk konsultasi ke psikolog. Namun, dia mengakui jika tak bisa bercerita banyak.

“Sebab, aku memosisikan psikolog itu sebagai orang asing. Ada yang aku kututupi. Ya walau setidaknya ada perasaan sedikit lega,” ujarnya. Kembali ke Bumi Etam melanjutkan kuliah. Proses adaptasi berhasil. Dia merasa, kuliah kedokteran ternyata tak begitu menyeramkan. Ditambah dukungan sesama teman sekelas.

Memasuki tahun keempat. Kesulitan kembali datang. Beberapa modul tak bisa dia selesaikan. Abe mencoba untuk memperbaiki dengan mengambil pada semester selanjutnya, sembari perlahan menyusun skripsi.

Saat membuka media sosial, dia melihat kawan-kawan SMA dan kuliahnya di akuntansi dulu sudah lulus. Mendapat pekerjaan. Begitu juga kawan sekelasnya di kedokteran yang beberapa mulai maju sidang. “Kok aku ngerasa enggak ada progres hidup apa-apa. Itu tertekan. Bahkan, sempat kepikiran mau terjun ke laut waktu pulang kampung naik kapal. Perasaan untuk mengakhiri hidup itu ada,” ungkapnya.

Puncaknya awal tahun lalu. Dia sedang mempersiapkan diri untuk maju seminar hasil (semhas). Saat membaca informasi mengenai batas terakhir pendaftaran yudisium, tangannya tremor. “Wah itu kacau. Sempat mikir bisa enggak ya, sempat enggak ya (daftar yudisium). Karena baru mau maju semhas,” kata dia.

Menempuh masa studi enam tahun, apalagi kuliah kedokteran menjadi beban bagi Abe. Belum lagi tekanan datang dari orangtua yang menanyakan kapan lulus. Pikiran mengakhiri hidup terus terbayang. Pola tidurnya berantakan.

Beruntung, kekasihnya saat itu menyarankan untuk segera ke psikiater. Meski sempat ada penolakan dalam diri seperti yang sudah-sudah. Abe pun menuruti. Bertemu psikiater yang juga salah satu dosennya.

“Aku cerita semuanya, enggak ada yang ditutupi. Diagnosisnya kecemasan ringan. Dan itu dokternya juga bilang, kenapa baru datang sekarang. Akhirnya diberi dua jenis obat, rutin minum setiap hari,” jelasnya. Dia mengakui jika sebelumnya merasa mampu mengendalikan diri. Sehingga tidak ada niatan segera menemui psikiater. Dosis obat yang diberikan berangsur-angsur berkurang. Mulai rutin minum dua kali sehari, hingga sehari sekali. Dosis obat dikurangi dan benar-benar berhenti. Sejak Februari 2019 mengonsumsi obat pertama kali, dia baru benar-benar stop pengobatan saat Mei 2020.

“Sekarang sudah lebih baik. Dan memang tekanan kuliah di kedokteran itu ada. Jurnal di luar negeri juga bilang begitu. Hanya sedikit yang mengakui jika stres. Pada kondisiku, aku memang akhirnya mengakui. Sulit memang untuk mengakui saat itu, dan aku yakin ini juga yang dialami teman-teman lain,” bebernya.

Kini, Abe sedang menempuh pendidikan profesi dokter. Selama pandemi, sistem belajarnya memang tak seperti dulu. Hanya aktif seminggu sekali ke rumah sakit. Fokus menjaga kondisi dan imunitas. (rdm/ndu/k8)

Editor: izak-Indra Zakaria

Tags

Rekomendasi

Terkini

Raffi-Nagita Dikabarkan Adopsi Bayi Perempuan

Senin, 15 April 2024 | 11:55 WIB

Dapat Pertolongan saat Cium Ka’bah

Senin, 15 April 2024 | 09:07 WIB

Emir Mahira Favoritkan Sambal Goreng Ati

Sabtu, 13 April 2024 | 13:35 WIB
X