Hilangkan Stigma Gangguan Jiwa, Deteksi Lebih Awal

- Selasa, 13 Oktober 2020 | 13:01 WIB
ilustrasi
ilustrasi

PERKIRAAN jumlah penderita gangguan jiwa di dunia sekitar 450 juta orang, termasuk skizofrenia. Ini merupakan data dari World Health Organization (Organisasi Kesehatan Dunia) 2017. Gangguan depresi dapat dialami semua kelompok usia. Dari hasil Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2018, pola prevalensi depresi semakin meningkat seiring usia.

Pada usia 15–24 tahun tercatat prevalensi sebesar 6,2 persen, lalu usia 25–34 tahun sebesar 5,4 persen dan terus meningkat. Tertinggi usia 75 tahun ke atas dengan 8,9 persen. Data Riskesdas 2018 juga menunjukkan jika per seribu rumah tangga, terdapat tujuh rumah tangga dengan orang dengan gangguan jiwa (ODGJ). Sehingga jumlahnya diperkirakan sekitar 450 ribu ODGJ berat di Indonesia.

“Kesehatan tanpa kesehatan jiwa (keswa) kan tidak mungkin. Nah, sehat jiwa ini menjadi investasi jangka panjang. Jika sehat fisik tapi tidak jiwanya, ya jadi tidak produktif ‘kan,” ujar dr Jaya Mualimin SpKJ, Ketua Perhimpunan Dokter Spesialis Kedokteran Jiwa Indonesia (PDSKJI) Kalimantan Timur-Utara.

Selama pandemi, Jaya melihat pasien dengan positif Covid-19 banyak mengalami gangguan kecemasan. Mulai tingkat ringan, sedang hingga tidak bisa tidur sama sekali. Bahkan, Jaya juga dihubungi beberapa kawan yang mengeluhkan gejala sulit tidur.

“Saya tanya kenapa? Dia tidak jawab. Setelah diberi obat dan dinyatakan baik-baik saja, baru dia cerita kalau kemarin-kemarin positif Covid-19. Ya alhamdulillah jika obat dari dokter membantu. Sebab, kondisi kesehatan jiwa yang baik tentu akan menaikkan imunitas ‘kan,” papar Jaya.

Sosialisasi kesehatan mental terus digencarkan pemerintah. Diakui Jaya, kesadaran masyarakat terkait keswa memang tidak sebaik kesehatan fisik. Sebagian besar pasien dengan gangguan jiwa baru mengunjungi rumah sakit atau psikiater saat yang dialami sudah bertambah parah.

Sejauh ini masih mencoba menahan stigma masyarakat terkait keswa. Apalagi jika berobat langsung ke rumah sakit jiwa. Dianggap sudah benar-benar parah atau gila. Padahal tidak semua seperti itu.

Selama masa pandemi, pihaknya memang melakukan pembatasan pasien. Mencegah risiko penularan. Termasuk program telemedicine. Di mana pengobatan dimaksimalkan via online atau dalam jaringan (daring).

“Sebisa mungkin terapi di daerah, maksimalkan dulu. Jika tidak bisa baru dirujuk ke sini. Kondisi pasien rawat inap juga stagnan, 132–135 orang setiap harinya,” ujar Plt Direktur Rumah Sakit Jiwa Daerah (RSJD) Atma Husada Mahakam Samarinda itu.

“Kalau di sini, kebanyakan pasien dengan masalah gangguan pikiran atau skizofrenia. Halusinasi tinggi, diajak komunikasi enggak nyambung. Cenderung merusak diri hingga lingkungan. Multi-faktor ya itu,” lanjutnya.

Gangguan jiwa adalah akumulasi beberapa faktor yang terus-menerus. Hingga akhirnya seseorang tidak kuat menerima tekanan hidup. Ketika ada faktor pencetus, gangguan pun tidak dapat dihindarkan. Sebab itu, dia mengimbau untuk secara dini mendeteksi kondisi diri. Jangan sampai sudah telanjur parah, baru dibawa berobat. Sebab, tentunya berpengaruh pada jangka waktu proses penyembuhan.

DIDERITA USIA PRODUKTIF

ITU juga yang diungkapkan dr Mariati Sitinjak SpKJ dari RSUD AM Parikesit Tenggarong, Kutai Kartanegara. Keswa perlu jadi perhatian. Dari data pasien di tempatnya bekerja, gangguan jiwa banyak terjadi pada usia produktif.

“Untuk gangguan jiwa berat yakni skizofrenia 35 persen terjadi pada usia 25–44 tahun. Dan 40 persen pada usia 45–60 tahun,” ujarnya. Di Indonesia, skizofrenia juga menduduki peringkat pertama kasus gangguan jiwa.

Halaman:

Editor: izak-Indra Zakaria

Tags

Rekomendasi

Terkini

Puasa Pertama Tanpa Virgion

Minggu, 17 Maret 2024 | 20:29 WIB

Badarawuhi Bakal Melanglang Buana ke Amerika

Sabtu, 16 Maret 2024 | 12:02 WIB
X