Adapun menyajikan figur lain untuk mengisi slot yang ditinggalkan, bisa saja terjadi. Jika di awal penjaringan figur yang bergulir di partai koalisi menghadirkan kandidat lain yang seimbang. Namun, sejak kontestasi bergulir di tingkat penjaringan, figur lain yang kuat hanya muncul di sisi seberang atau lawan politik si calon. Karena itu, sambung Luthfi, menjadi cara tercepat dan paling sederhana dalam batas waktu pergantian yang ditentukan KPU. “Ada banyak hal lain juga yang menjadi dasar, seperti pendanaan yang sudah disusun hingga nilai jual,” sambungnya.
Merotasi dengan figur yang tak sekaliber di tengah waktu yang mepet jelas rawan gesekan. Baik di level koalisi atau pendukung. Lalu, bagaimana jika perwakilan simbol itu menimbulkan anggapan dari para pendukung mereka belum mampu menyaingi kapasitas dan kapabilitas figur yang mangkat? Menurut dia, menunjuk keluarga menggantikan calon yang meninggal memang memiliki potensi itu.
Tapi, target dasar pilkada tentu soal memenangi kontestasi demokrasi lima tahunan. Kehadiran pengganti yang mengisi kekosongan itu bisa mereduksi perpecahan. “Analoginya seperti ini, sebuah motor bisa berjalan sejauh 100 meter dengan bahan bakar A. Di tengah jalan bermasalah, adanya bahan bakar B. Mau tak mau tetap dipakai kan. Walaupun ada dua kemungkinan, berhasil sampai atau terhenti di tengah jalan,” singkatnya.
Majunya Sri Juniarsih dan Najirah, membuat daftar perempuan yang berlaga pada Pilkada Serentak 2020 di Kaltim turut bertambah. Kini, total srikandi yang ambil bagian jadi lima orang. Sebelumnya, ada sosok Neni Moerniaeni (calon wali kota Pilkada Bontang/incumbent), Seri Marawiah (calon bupati Pilkada Berau), dan Syarifah Masitah Assegaf (calon wakil bupati Pilkada Paser). Direktur Eksekutif Perkumpulan Pemilu untuk Demokrasi (Perludem), Khoirunnisa Nur Agustyati mengungkapkan, ada sejumlah tantangan yang membuat jumlah perempuan tampil dalam Pilkada Serentak 2020 angkanya masih kecil. Salah satunya, masih menguatnya budaya patriarki di masyarakat.
“Ada hambatan sosial dan budaya gitu, budaya patriarki yang mungkin masih ada anggapan bahwa pemimpin itu bukan perempuan tapi laki-laki,” kata Khoirunnisa dalam diskusi virtual bertajuk ”Perempuan & Pilkada” beberapa waktu lalu. Perempuan yang akrab disapa Ninis ini menyebutkan, tantangan lainnya dari sisi regulasi pencalonan itu sendiri. Ada syarat minimal dukungan harus mendapatkan kursi 20 persen DPRD atau 25 persen suara dari pemilu sebelumnya. Menurut dia, perempuan ketika dihadapkan dalam situasi ini tentu akan menyulitkan.