Siasat Koalisi setelah Ditinggal Jagoan yang Wafat karena Covid-19, Menunjuk Istri, Menekan Friksi

- Senin, 12 Oktober 2020 | 11:37 WIB
-
-

SAMARINDADua calon kepala daerah di Kaltim yang berlaga di Pilkada Serentak 2020 meninggal seusai terpapar Covid-19. Koalisi partai yang mengusung harus merombak duet yang diusung lantaran tahapan pilkada sudah berjalan. Dua calon kepala daerah yang wafat itu; Muharram di Pilkada Berau dan Adi Darma di Pilkada Bontang.

Koalisi yang mengusung keduanya menggunakan strategi serupa. Menggaet sang istri untuk maju bertarung. Menggantikan suami yang telah berpulang menjadi langkah tercepat untuk mengondisikan pendukung dan simpatisan tetap dalam barisan.

“Pilkada tak sekadar menjual kapasitas dan kapabilitas figur yang diusung partai. Ada simbol yang harus dijaga untuk pengikat keseluruhan,” ungkap pengamat politik Universitas Mulawarman (Unmul) Samarinda Lutfi Wahyudi, (11/10).

Untuk diketahui, koalisi PKS, PPP, Demokrat, Gerindra, PKB, dan PAN yang mengusung Muharram-Gamalis di Pilkada Berau menyerahkan mandat ke Sri Juniarsih, istri almarhum Muharram untuk menggantikan posisi calon bupati yang diusung.

Sementara itu, PKB-PDI Perjuangan yang mengusung Adi Darma-Basri Rase, merotasi posisi duet yang disorong. Basri menjadi calon wali kota. Sementara posisi calon wakil wali kota yang kosong diberikan ke Najirah, istri almarhum Adi Darma.

Menurut Lutfi, para calon kepala daerah yang meninggal tersebut tentu punya dan menjadi simbol tersendiri di mata pendukung atau simpatisannya. Nah, yang mewakili simbol itu, jelas ada pada orang terdekat almarhum dan keluarga. Sosok itu jadi perwakilan yang paling dekat dan tak terpisahkan.

Adapun menyajikan figur lain untuk mengisi slot yang ditinggalkan, bisa saja terjadi. Jika di awal penjaringan figur yang bergulir di partai koalisi menghadirkan kandidat lain yang seimbang. Namun, sejak kontestasi bergulir di tingkat penjaringan, figur lain yang kuat hanya muncul di sisi seberang atau lawan politik si calon. Karena itu, sambung Luthfi, menjadi cara tercepat dan paling sederhana dalam batas waktu pergantian yang ditentukan KPU. “Ada banyak hal lain juga yang menjadi dasar, seperti pendanaan yang sudah disusun hingga nilai jual,” sambungnya.

Merotasi dengan figur yang tak sekaliber di tengah waktu yang mepet jelas rawan gesekan. Baik di level koalisi atau pendukung. Lalu, bagaimana jika perwakilan simbol itu menimbulkan anggapan dari para pendukung mereka belum mampu menyaingi kapasitas dan kapabilitas figur yang mangkat? Menurut dia, menunjuk keluarga menggantikan calon yang meninggal memang memiliki potensi itu.

 Tapi, target dasar pilkada tentu soal memenangi kontestasi demokrasi lima tahunan. Kehadiran pengganti yang mengisi kekosongan itu bisa mereduksi perpecahan. “Analoginya seperti ini, sebuah motor bisa berjalan sejauh 100 meter dengan bahan bakar A. Di tengah jalan bermasalah, adanya bahan bakar B. Mau tak mau tetap dipakai kan. Walaupun ada dua kemungkinan, berhasil sampai atau terhenti di tengah jalan,” singkatnya.

Majunya Sri Juniarsih dan Najirah, membuat daftar perempuan yang berlaga pada Pilkada Serentak 2020 di Kaltim turut bertambah. Kini, total srikandi yang ambil bagian jadi lima orang. Sebelumnya, ada sosok Neni Moerniaeni (calon wali kota Pilkada Bontang/incumbent), Seri Marawiah (calon bupati Pilkada Berau), dan Syarifah Masitah Assegaf (calon wakil bupati Pilkada Paser). Direktur Eksekutif Perkumpulan Pemilu untuk Demokrasi (Perludem), Khoirunnisa Nur Agustyati mengungkapkan, ada sejumlah tantangan yang membuat jumlah perempuan tampil dalam Pilkada Serentak 2020 angkanya masih kecil. Salah satunya, masih menguatnya budaya patriarki di masyarakat.

 

“Ada hambatan sosial dan budaya gitu, budaya patriarki yang mungkin masih ada anggapan bahwa pemimpin itu bukan perempuan tapi laki-laki,” kata Khoirunnisa dalam diskusi virtual bertajuk ”Perempuan & Pilkada” beberapa waktu lalu. Perempuan yang akrab disapa Ninis ini menyebutkan, tantangan lainnya dari sisi regulasi pencalonan itu sendiri. Ada syarat minimal dukungan harus mendapatkan kursi 20 persen DPRD atau 25 persen suara dari pemilu sebelumnya. Menurut dia, perempuan ketika dihadapkan dalam situasi ini tentu akan menyulitkan.

 Di mana perempuan itu harus dicalonkan terlebih dahulu dari partai politik. Kemudian harus mendapatkan dukungan juga dari calon pengusung partai politik lainnya. Sementara itu, urusan pencalonan di level koalisi harus ada kompromi yang harus dicapai untuk mendapatkan kesepakatan. “Kalau partai koalisinya mengusung yang lain, sehingga ada kompromi dalam koalisi tersebut, bisa jadi perempuan yang seharusnya tadi mendapatkan tiket dari partai politik bisa tidak jadi maju dalam kontestasi pilkada,” ujarnya.

Dia melanjutkan, tantangan berikutnya yakni demokratisasi di internal partai politik dianggap belum efektif. “Nah ini yang tidak pernah disampaikan terbuka kepada publik. Mungkin ada perempuan yang sudah menjadi kader partai politik lama, kemudian sudah siap kalau mau dicalonkan parpol, tapi kemudian yang terpilih dicalonkan adalah calon lainnya,” tutur dia. (ryu/riz/k8)

Halaman:

Editor: izak-Indra Zakaria

Tags

Rekomendasi

Terkini

Siapkan Formasi Fresh Graduate Pindah ke IKN

Rabu, 24 Januari 2024 | 23:00 WIB

Truk Ambles di Drainase Proyek DAS

Rabu, 24 Januari 2024 | 11:31 WIB

Pengedar Sabu Diciduk Polisi saat Terlelap di Kamar

Rabu, 24 Januari 2024 | 11:30 WIB

Anies Prioritaskan Ketersediaan Lapangan Kerja

Rabu, 24 Januari 2024 | 11:27 WIB

Jepang vs Indonesia, Maju Tak Gentar...!!

Rabu, 24 Januari 2024 | 10:23 WIB

ASTAGA..!! Ada 26 Motor Hilang di Depan BIGmall

Rabu, 24 Januari 2024 | 10:16 WIB

Menantu Luhut Jadi Komisaris Utama Pindad

Rabu, 24 Januari 2024 | 10:11 WIB

Babinsa Sungai Dama Antar Warga ke Rumah Sakit

Rabu, 24 Januari 2024 | 10:09 WIB

18 Kecamatan di Kukar Kekurangan Pengawas TPS

Rabu, 24 Januari 2024 | 10:08 WIB

Algaka Pelanggar di Kukar Mulai Ditertibkan

Rabu, 24 Januari 2024 | 10:05 WIB

Karena Pemilu, Kasus Korupsi KPU Mahulu Terhambat

Rabu, 24 Januari 2024 | 10:05 WIB
X