Di Omnibus Law, Izin Amdal Hilangkan Peran LSM Dan Pendamping Masyarakat

- Jumat, 9 Oktober 2020 | 16:22 WIB
Organisasi Wahana Lingkungan Indonesia (WALHI) menilai bahwa peralihan perizinan Amdal dari pemerintah daerah ke pusat bisa mengendorkan substansi perlindungan lingkungan. Foto kejadian kebakaran kapal di Teluk Balikpapan.
Organisasi Wahana Lingkungan Indonesia (WALHI) menilai bahwa peralihan perizinan Amdal dari pemerintah daerah ke pusat bisa mengendorkan substansi perlindungan lingkungan. Foto kejadian kebakaran kapal di Teluk Balikpapan.

JAKARTA—Organisasi Wahana Lingkungan Indonesia (WALHI) menilai bahwa peralihan perizinan Amdal dari pemerintah daerah ke pusat bisa mengendorkan substansi perlindungan lingkungan.

Dalam pernyataan resminya kemarin, Walhi menyebut pengawasan terhadap perizinan dampak lingkungan dipersempit dari sebelumnya 3 unsur, meliputi masyarakat yang terkena dampak, pemerhati lingkungan hidup dan semuan pihak yang terpengaruh menjadi hanya 1 unsur. Yakni masyrakat yang terdampak langsung.

Hal ini menghilangkan peran serta lembaga non pemerintah (NGO) yang selama ini mendampingi masyarakat terdampak. Wahyu A Perdana, Manajer Kampanye Pangan, Air, dan Ekosistem Esensial Walhi mengatakan, hal ini diperparah dengan hilangnya peran Komisi Penilai Amdal yang diatur dalam Pasal 24 yang kemudian digantikan oleh Lembaga Uji Kelayakan Pemerintah Pusat.

Wahyu menyatakan setidaknya ada 3 dampak serius dari pengurangan ini. Yang pertama adalah banyak proyek yang berdampak pada lingkungan hidup berada di daerah. Dengan dialihkannya kewenangan ke pusat, beban pemerintah daerah akan semakin bertambah. ”Dikhawatirkan kemampuan pemeritah pusat tidak akan mampu menandingi laju kerusakan lingkungan hidup,” jelas Wahyu kemarin.

Selain itu, hal ini berpotensi menjauhkan akses informasi baik bagi masyarakat lokal maupun pelaku usaha di daerah terutama di daerah yang sulit terjangkau atau tidak ramah dengan akses teknologi informasi dalam menyusun Amdal

Yang ketiga, kata Wahyu. Tidak ada unsur masyarakat dalam Lembaga Uji Kelayakan. Padahal sebelumnya, unsur masyarakat ada pada Komisi Penilai Amdal. ”Ini berpotensi menghilangkan ruang untuk menjalankan partisipasi yang hakiki dan berpeluang membuka partisipasi semu yang manipulatif,” katanya.

RUU CK juga mengubah pasal 39 pada UU 32 Tahun 2009 mengenai pengumuman informasi lingkungan hidup dengan cara yang mudah diketahui masyarakat dengan mereduksi dan mempersempitnya menjadi pengumuman elektronik. “Dampaknya berpotensi menghilangkan hak informasi masyarakat di kampung, pesisir-pulau kecil dan lainnya yang berada di Kawasan sulit dijangkau teknologi informasi,” kata Wahyu.

Sebelumnya, menteri LHK Siti Nurbaya Bakar menyatakan bahwa kemuduran perlindungan lingkungan tidak benar terjadi pada UU Ciptaker. Perizinan Amdal tidak berubah secara prinsip, ”Yang berubah adalah kebijakan dan prosedurnya karena dia akan disederhanakan karena dia sesuai dengan tujuannya dari UU Ciptaker ini, adalah untuk memberikan kemudahan berusaha,” kata Siti pada Rabu (7/10)

Siti menegaskan bahwa, UU ini tidak menghapus izin lingkungan. Tapi mengintegrasikan izin lingkungan pada izin usaha. Juga meringkas sistem perizinan dan memperkuat penegakan hukum. Salah satu keuntungannya, jika pengusaha terjerat masalah lingkungan, maka izin perusahaan akan bisa langsung dicabut.

”Selama ini kan ketika ada masalah, hanya izin lingkungan yang dicabut, perusahaan bisa saja tetap berjalan,” kata Siti.

Dengan bersatunya izin lingkungan ke izin berusaha, maka jika ada gugatan masalah lingkungan, kemudian terbukti, maka izin perusahaan bisa dicabut karena izin lingkungan menjadi dasar dalam perizinan berusaha. ”Jadi tidak benar dikatakan UU Ini melamahkan perlindungan lingkungan,” kata Siti.

Sementara soal keterlibatan masyrakat, Siti mengatakan bahwa saat ini perizinan amdal fokus pada masyarakat yang terkena dampak langsung. Karena evaluasi selama ini, kepentingan masyarakat terdampak sering terdilusi oleh kepentingan lain. ”Tapi demikian tetap membuka luang dari LSM dan unsur pembina masyarakat yang lain,” jelasnya.

Soal penghapusan Komisi Penilai Amdal, Siti mengatakan hal ini untuk mempercepat proses keluarnya izin lingkungan. Siti menyebut bahwa setiap tahunnya, ada 1.500 gabungan dokumen amdal yang harus dianalisis.

Sementara itu, Koalisi Masyarakat Sipil untuk Perikanan dan Kelautan Berkelanjutan (KORAL) berpendapat bahwa UU Ciptaker dapat melemahkan nelayan kecil dan tradisional. Sentralisasi kewenangan ke Pemerintah Pusat dapat mengurangi fungsi kontrol terhadap tingkat eksploitasi sumber daya kelautan dan perikanan serta melemahkan esensi otonomi daerah.

Halaman:

Editor: izak-Indra Zakaria

Tags

Rekomendasi

Terkini

Siapkan Formasi Fresh Graduate Pindah ke IKN

Rabu, 24 Januari 2024 | 23:00 WIB

Truk Ambles di Drainase Proyek DAS

Rabu, 24 Januari 2024 | 11:31 WIB

Pengedar Sabu Diciduk Polisi saat Terlelap di Kamar

Rabu, 24 Januari 2024 | 11:30 WIB

Anies Prioritaskan Ketersediaan Lapangan Kerja

Rabu, 24 Januari 2024 | 11:27 WIB

Jepang vs Indonesia, Maju Tak Gentar...!!

Rabu, 24 Januari 2024 | 10:23 WIB

ASTAGA..!! Ada 26 Motor Hilang di Depan BIGmall

Rabu, 24 Januari 2024 | 10:16 WIB

Menantu Luhut Jadi Komisaris Utama Pindad

Rabu, 24 Januari 2024 | 10:11 WIB

Babinsa Sungai Dama Antar Warga ke Rumah Sakit

Rabu, 24 Januari 2024 | 10:09 WIB

18 Kecamatan di Kukar Kekurangan Pengawas TPS

Rabu, 24 Januari 2024 | 10:08 WIB

Algaka Pelanggar di Kukar Mulai Ditertibkan

Rabu, 24 Januari 2024 | 10:05 WIB

Karena Pemilu, Kasus Korupsi KPU Mahulu Terhambat

Rabu, 24 Januari 2024 | 10:05 WIB
X