LIPI : Gelombang Protes Harus Jadi Pelajaran Pemerintah Saat Susun PP

- Jumat, 9 Oktober 2020 | 14:28 WIB
Pasukan Brimob Polri membuat barikade pertahanan saat bentrok dengan pengunjuk rasa di kawasan Harmoni, Jakarta, Kamis (8/10/2020). Unjuk rasa tersebut berakhir ricuh dan mengakibatkan sejumlah fasilitas umum rusak. (Dery Ridwansaha/ JawaPos.com)
Pasukan Brimob Polri membuat barikade pertahanan saat bentrok dengan pengunjuk rasa di kawasan Harmoni, Jakarta, Kamis (8/10/2020). Unjuk rasa tersebut berakhir ricuh dan mengakibatkan sejumlah fasilitas umum rusak. (Dery Ridwansaha/ JawaPos.com)

JAKARTA– Peneliti bidang ketenagakerjaan Pusat Penelitian Kependudukan LIPI Nawawi Asmat ikut memperhatikan banyaknya aksi protes atas pengesahan UU Ciptaker. Dia berharap penolakan dari masyarakat ini dijadikan pelajaran bagi pemerintah dalam pembuatan peraturan pemerintah (PP) atau regulasi teknis pelaksana UU Ciptaker.

Dia menjelaskan UU Ciptaker hanya semacam guidance atau ketentuan bersifat umum. Nantinya untuk pelaksanaan teknis diatur dalam PP atau lainnya. Dia menegakan dalam menyusun PP nanti, pemerintah harus belajar dari banyaknya gelombang penolakan dari masyarakat atas pengesahan UU Ciptaker.

’’Mbok ya jangan diulangi,’’ katanya. Nawawi mengatakan dalam menyusun PP turunan UU Ciptaker nanti, pemerintah harus melibatkan pemangku kebijakan terkait. Misalnya PP dari UU Ciptaker tentang ketenagakerjaan, maka harus melibatkan unsur serikat pekerja dan pengusaha. Supaya setelah PP keluar, tidak memicu aksi protes kembali.

Meskipun begitu dia mengakui bahwa mencari titik temu antara buruh dengan pengusaha itu sulit. Misalnya untuk urusan pesangon. Dari kalangan buruh ingin mendapatkan pesangon yang besar. Sebaliknya dari kalangan pengusaha inginnya membayar pesangon rendah.

Nawawi juga mengatakan meskipun dari pihak pemerintah menyebut UU Ciptaker ini baik, belum tentu penerapan di lapangan nanti sesuai peraturan. Dia mencontohkan pada UU 13/2003 tentang Ketenagakerjaan banyak aturan yang tidak jalan. Misalnya soal aturan upah yang diterima tenaga kerja minimal sesuai upah minimum setempat.

’’Tapi di lapangan banyak tenaga kerja di bayar di bawah upah minimum,’’ katanya. Begitupun aturan tentang pesangon yang ada di UU 13/2003 juga hanya dijalankan oleh perusahaan-perusahaan tertentu saja. Sementara banyak perusahaan lain yang membayar pesangon pekerjanya tidak sesuai aturan.

Lalu soal tenaga alihdaya atau outsourcing. Di dalam aturannya penerapan tegana alihdaya hanya untuk pekerjaan tertentu. Tetapi Nawawi mengatakan dalam praktiknya banyak bidang pekerjaan yang menggunakan tenaga alih daya.

Dia menegaskan yang paling penting dalam sebuah peraturan itu adalah implementasinya. Nawawi tidak ingin ada aturan yang bagus, tetapi di dalam pelaksanaannya nanti tidak sesuai peraturan. Menurutnya UU Ketengakerjaan merupakan aturan yang memiliki sifat hukum publik. Maka dalam menyusun UU Ciptaker, yang di dalamnya terkait dengan UU Ketenagakerjaan, harus mendahulukan kepentingan publik. Dalam hal ini kepentingan pekerja atau buruh. (wan)

Editor: izak-Indra Zakaria

Tags

Rekomendasi

Terkini

Siapkan Formasi Fresh Graduate Pindah ke IKN

Rabu, 24 Januari 2024 | 23:00 WIB

Truk Ambles di Drainase Proyek DAS

Rabu, 24 Januari 2024 | 11:31 WIB

Pengedar Sabu Diciduk Polisi saat Terlelap di Kamar

Rabu, 24 Januari 2024 | 11:30 WIB

Anies Prioritaskan Ketersediaan Lapangan Kerja

Rabu, 24 Januari 2024 | 11:27 WIB

Jepang vs Indonesia, Maju Tak Gentar...!!

Rabu, 24 Januari 2024 | 10:23 WIB

ASTAGA..!! Ada 26 Motor Hilang di Depan BIGmall

Rabu, 24 Januari 2024 | 10:16 WIB

Menantu Luhut Jadi Komisaris Utama Pindad

Rabu, 24 Januari 2024 | 10:11 WIB

Babinsa Sungai Dama Antar Warga ke Rumah Sakit

Rabu, 24 Januari 2024 | 10:09 WIB

18 Kecamatan di Kukar Kekurangan Pengawas TPS

Rabu, 24 Januari 2024 | 10:08 WIB

Algaka Pelanggar di Kukar Mulai Ditertibkan

Rabu, 24 Januari 2024 | 10:05 WIB

Karena Pemilu, Kasus Korupsi KPU Mahulu Terhambat

Rabu, 24 Januari 2024 | 10:05 WIB
X