Bambang Iswanto
Dosen Institut Agama Islam Negeri Samarinda
SURGA merupakan tempat penuh kenikmatan tiada tara pada akhirat kelak, bagi orang-orang yang diridai Tuhan. Salah satu keajaiban surga adalah aromanya yang bisa tercium dari jarak yang sangat jauh. Beberapa riwayat yang menyebutkan, harumnya tercium dari jarak 40 tahun perjalanan. Riwayat lain menyebut 70 tahun, bahkan ada yang sampai tercium dari jarak 500 tahun perjalanan.
Calon penghuninya sudah bisa merasakan aroma surga meski belum mengetahui di mana letaknya. Kira-kira seperti itulah yang bisa dipahami dari riwayat yang mengisahkan tentang surga. Hanya orang-orang yang akan masuk surga yang bisa merasakan bau surga sebelum masuk.
Orang-orang yang tidak diberi kesempatan masuk surga sering diistilahkan dalam hadis sebagai orang yang tidak mencium bau surga. Orang yang tidak masuk surga, tidak ada pilihan lain kecuali masuk neraka. Namun ada dua tempat di akhirat sebagai pembalasan ganjaran manusia di dunia, jika tidak surga, berarti neraka.
Salah satu kriteria atau kelompok manusia yang tidak bisa mencium bau surga adalah pemimpin yang tidak bisa menjalankan amanah dalam memimpin rakyatnya. Informasi itu didapat dari sumber hadis sahih yang diriwayatkan oleh Al-Bukhari dalam Kitab “al-Lu’lu’ wa al-Marjan.”
Menjadi pemimpin memang berat, apalagi memimpin rakyat yang banyak dalam berbagai levelnya. Menjadi kepala pemerintahan seperti presiden untuk level negara, gubernur, wali kota, dan bupati pada level daerah. Masing-masing mereka, memimpin ada yang memimpin ratusan ribu sampai jutaan orang. Demikian pula menjadi pemimpin bagi orang yang diwakilinya seperti anggota legislatif, yang mewakili ribuan orang yang memercayakan aspirasi di pundaknya.
Sudut pandang yang dipakai untuk mengategorikan tugas menjadi pemimpin rakyat berat adalah amanah yang dibebankan kepadanya. Amanah tersebut harus dipelihara dan dijalankan dengan baik. Jika tidak, siap-siaplah hukuman menanti sebagai konsekuensi tidak amanah. Mungkin saja pengkhianat amanah bisa lepas dari jerat hukum dunia, tapi pasti tidak mungkin lepas dari mahkamah akhirat yang maha-adil.
Tidak salah bagi orang tertentu, menjadi pemimpin rakyat bukanlah sebuah keberkahan melainkan sebuah beban berat bahkan menganggapnya sebagai bencana. Orang-orang seperti itu justru menangis mendapatkan jabatan memimpin, tidak malah bersyukur.
Dalam perspektif itu, hal yang aneh ketika menjadi pemimpin sesuatu yang diperebutkan mati-matian dan dibuatkan acara syukuran besar-besaran ketika mendudukinya. Sahabat Abu Bakar Ash-Shiddiq adalah contoh yang menjadikan jabatan memimpin rakyat sebagai bencana.
Beliau menangis sedih ketika diberikan amanah yang besar menggantikan Rasulullah sebagai pemimpin. Tangisan emosional kesedihan menanggung beban yang akan dihadapi. Bukan tangisan bahagia seperti yang ditunjukkan oleh kebanyakan pemimpin yang terpilih.
PEMIMPIN ADIL DAN MENDENGAR