Tidak Semua Bank Mudah Bertransformasi

- Kamis, 1 Oktober 2020 | 09:41 WIB

JAKARTA - Industri perbankan dituntut untuk mengubah pola bisnis maupun layanan untuk go digital atau open banking. Gubernur Bank Indonesia Perry Warjiyo menilai, transformasi tersebut harus diusung oleh para pemimpin bank. Meski demikian, realisasinya memang tidak mudah lantaran setiap bank memiliki kendala masing-masing. 

"Open banking tidak bisa bottom-up, harus top-down. Itu betul-betul membutuhkan visi, misi, dan strategic business plan yang jelas," kata Perry dalam webinar, (29/9). 

Menurut dia, perintah pimpinan sangat perlu lantaran perubahan sistem yang dilakukan cukup masif. Membangun teknologi digital secara internal untuk menjalin interkasi berkelanjutan dengan sumber infromasi di luar (internet of things). Selain itu, melalui open banking akan menciptakan transparansi dan memudahkan koneksi antara bank dengan nasabah. Juga, interlink dengan platform digital finansial (fintech), e-commerce, dan lokapasar. 

Perry menjelaskan, ada empat aspek penting dalam melakukan transformasi open banking. Yakni, membangun infrastruktur teknologi perbankan yang terintegrasi, metadata, pengembangan model bisnis, dan perubahan pola pikir sumber daya manusia perbankan. Dia menyebut sejumlah perbankan nasional sudah mampu menerapkan aspek-aspek tersebut. 

Dalam kesempatan yang sama, Presiden Direktur PT Bank Central Asia Tbk (BCA) Jahja Setiaatmadja menyebut, upaya digitalisasi open banking perbankan adalah harus. Minimal digitalisasi internal. Jika tidak, bukan tidak mungkin bank secara perlahan ditinggalkan oleh masyarakat. Meski demikian, tidak dimungkiri belum tentu semua bank mampu melakukan efisiensi secara signifikan. 

Dia menyatakan, efisiensi bisnis menjadi digital akan menemui banyak sekali gangguan. Baik dari internal, sistem telekomunikasi, atau nasabah yang belum terbiasa dan paham. "Dulu kami merasakan sekali. Kami coba transformasi, hasilnya beberapa pekerjaan hilang. Yang kerja mengatur rekening antar cabang dulu bisa 200 orang, sekarang udah otomatis," urai Jahja. 

Perseoran juga harus menjaga hal-hal yang bersifat fundamental, seperti data nasabah. Karena data tersebut tidak boleh diumbar tanpa izin pemiliknya. Mengingat, dengan sistem digital yang terintegrasi sangat rentan risiko penyalahgunaan data jika tidak disertai aturan bisnis yang ketat. 

Sementara itu, Direktur Utama Bank Jateng Supriyatno mengungkapkan, bank pembangunan daerah (BPD) memiliki banyak kendala untuk bertransformasi digital. Salah satunya yakni para pemegang saham BPD. Membangun komunikasi rencana pengembangan bisnis dengan pemerintah setempat sebagai pemegang saham tidak mudah. 

BPD tidak seperti bank swasta nasional. Ada banyak kepentingan yang membuat ruang gerak bank daerah menjadi terbatas. Sehingga, koordinasi yang intens perlu dilakukan untuk memuluskan rencana pengembangan bisnis perbankan. 

"Dengan kata lain membangun non bisnis dan koordinasi jadi sangat perlu. Tanpa ini kita bicara bisnis, kita tidak akan banyak bicara. Ketika koordinasi yang dibangun telah selesai, barulah para direksi BPD menjelaskan detail rencana pengembangan bisnis perbankan," ungkap pria yang akrab disapa Nono itu. 

Selain itu, BPD memiliki modal yang terbatas. Pengembangan teknologi tidak murah. (han)

Editor: izak-Indra Zakaria

Rekomendasi

Terkini

Kontribusi BUM Desa di Kalbar Masih Minim

Kamis, 25 April 2024 | 13:30 WIB

Pabrik Rumput Laut di Muara Badak Rampung Desember

Senin, 22 April 2024 | 17:30 WIB
X