Saat dicecar jaksa KPK, Irawansyah mengaku tak tahu pertemuan kepala dinas PU Kutim dengan rekanan untuk mengatur 19 kegiatan penunjukan langsung dan 6 kegiatan tender yang didanai APBD Kutim 2020.
SAMARINDA–Pejabat Pemkab Kutai Timur satu per satu dikonfrontasi dalam skandal suap dan gratifikasi proyek infrastruktur tahun 2019-2020 di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Samarinda. Senin (28/9) jaksa penuntut umum (JPU) KPK menghadirkan Sekretaris Kabupaten (Sekkab) Irawansyah. Dia hadir sebagai saksi untuk dua terdakwa, Aditya Maharani Yuono dan Deky Aryanto.
Dalam keterangannya, Irawansyah mengaku tak mengetahui peran besar tersangka Musyaffa (kepala Badan Pendapatan Daerah Kutai Timur/Kutim nonaktif) dalam mengatur APBD 2020. Termasuk menelaah anggaran Rp 250 miliar yang bisa diutak-atik. Begitupun ketika JPU KPK mempertanyakan peran dua kepala dinas lain yang jadi tersangka dalam perkara OTT komisi antirasuah awal Juli lalu.
Yakni Aswandini (kepala Dinas Pekerjaan Umum/PU Kutim nonaktif) dan Suriansyah alias Anto (kepala Badan Pengelolaan Keuangan dan Aset Daerah/BPKAD Kutim nonaktif). Sekkab Kutim itu hanya menjawab. “Sesuai tupoksi di instansi mereka,” ungkapnya bersaksi kemarin (28/9).
Aditya Maharani Yuono dan Deky Aryanto didakwa menyuap Ismunandar (bupati Kutim nonaktif) dan Encek Unguria Riarinda Firgasih (ketua DPRD Kutim periode 2019–2024 nonaktif). Keduanya dibekuk lewat operasi tangkap tangan KPK awal Juli 2020.
Selain Irawansyah, ada empat saksi lain yang hadir dalam persidangan yang digelar secara virtual itu. Mereka; Edward Azran (kepala Badan Perencanaan Pembangunan Daerah/Bappeda Kutim), Hendra Ekayana (kabid Pengkajian Bappeda Kutim), Ahmad Firdaus (kasubbid Pengkajian Pembangunan Daerah Bappeda Kutim), dan Panji Asmara (kasi Program Bappeda Kutim).
Kembali ke Irawansyah, beberapa pertanyaan lain jaksa KPK hanya dijawabnya tak tahu. Salah satunya, mengenai rapat antara Aswandini dengan terdakwa Aditya untuk mengatur 19 kegiatan penunjukan langsung dan enam kegiatan tender yang bersumber dari APBD Kutim 2020. “Saya hanya tahu secara global, tak sampai mikro,” akunya. Soal pokok pikiran (pokir) anggota dewan Kutim yang diplot dalam tubuh anggaran, ungkap dia, semua merujuk pada Permendagri 86/2017 tentang Tata Cara Pembangunan Daerah.
“Dewan bakal mengakumulasi keluhan masyarakat saat reses. Hasilnya diajukan ke TAPD (Tim Anggaran Pemerintah Daerah) dan ditelaah forum OPD (organisasi perangkat daerah) untuk disesuaikan dengan kemampuan fiskal yang ada,” jelasnya. Pokir itu bisa diusulkan setiap anggota dewan setiap pembahasan anggaran. Bisa pula terakumulasi lewat fraksi parpol pemilik kursi parlemen.
Namun, TAPD lewat forum OPD itu, lanjut dia bersaksi, menyiangi pokir yang tak sesuai dengan rancangan pembangunan jangka menengah daerah (RPJMD). Jika selaras, baru diselipkan dalam item pembangunan di tubuh APBD. “Bentuknya variatif. Bisa fisik atau nonfisik seperti bantuan bibit untuk petani,” katanya. Begitupun soal nominal dari pokir tersebut tak ditentukan dewan.
Dijelaskannya, selepas pokir disesuaikan dengan fiskal daerah, pokir-pokir itu disebar ke instansi terkait. “Jadi, ketika pokir diajukan dewan hanya berbentuk nama kegiatan dan lokasi. Kalau biaya kegiatannya, OPD yang tentukan karena teknis yang lebih paham,” ulasnya.
Pertanyaan JPU pun melipir ke persoalan pokir yang tak boleh terpotong. Irawansyah mengaku, memang ada keterangan seperti itu yang diucapkan Encek Firgasih selepas dilantik jadi ketua DPRD Kutim periode 2019–2024 medio Oktober 2019.
Namun, Ismunandar yang notabene bupati Kutim sekaligus suami Encek Firgasih tak mentitahkan apapun ke dirinya. “Enggak ada. Hanya minta semua disesuaikan dengan program prioritas yang ada,” lanjutnya.
Menurutnya, pokir pun tak hanya milik dewan, bupati dan wakilnya juga punya dan terakomodasi di anggaran daerah. Soal ini, Irawansyah berkelit. Meski serupa tapi itu dua hal yang berbeda. Bupati dan wakilnya bisa menyerap aspirasi masyarakat ketika kunjungan ke daerah.