Kawal Omnibus Sebelum Pengesahan, Buruh Ancam Mogok Nasional

- Selasa, 29 September 2020 | 10:47 WIB
ilustrasi
ilustrasi

JAKARTA-- Pembahasan RUu Cipta Kerja atau Omnibus Law di DPR yang sudah rampung menimbulkan tanda tanya besar di kalangan pekerja. Sebab, pekerja akan paling terdampak dengan pasal-pasalnya. Salah satunya soal pemberian pesangon.

Perihal pemberian pesangon ini sempat dibahas dalam diskusi antara Pusat Studi Hukum dan Kebijakan (PSHK) dengan perwakilan serikat pekerja dan anggota panitia kerja (Panja) RUU Ciptaker di DPR kemarin (28/9). Kabar yang berkembang, pekerja akan menerima pesangon maksimal 32 kali gaji. Namun tidak sepenuhnya tanggung jawab perusahaan.

Anggota Panja RUU Ciptaker Obon Tabroni membenarkan bahwa aturan itu masuk ke dalam salah satu pasal di RUU. Namun, dia menegaskan bahwa saat ini masih proses pembahasan di tim kecil, kendati pembahasan panja sudah selesai. Jadi, masih ada kemungkinan perubahan klausul untuk memperjelas aturan tersebut.

Obon mengungkapkan, pesangon maksimal 32 kali gaji itu benar diatur dengan ada sebagian yang ditanggung oleh pemerintah. Tidak sepenuhnya dari perusahaan. "Dari sisi jumlah, apa yang didapat buruh tidak jauh berbeda. Maksimal kan 32, tapi dari sisi perusahaan memang turun," paparnya dalam forum diskusi tersebut.

Pemerintah, lanjut dia, akan membayar selisih dari pesangon yang menjadi hak dari pekerja tersebut. "Selisihnya dikover negara lewat ruang fiskal dengan program jaminan kehilangan pekerjaan," terangnya. Namun, untuk sementara, aturan ini hanya berlaku untuk pekerja yang berstatus karyawan tetap. Sementara untuk karyawan tidak tetap, tidak berlaku.

 Namun, politisi Partai Gerindra itu mengungkapkan selisih nilainya belum dipastikan, berapa yang harus dikover oleh negara. Hal ini masih disinkronisasikan bersama pasal-pasal lain dalam tim kecil pembahasan RUU tersebut. Namun, proses pembahasan ini sendiri dipermasalahkan oleh pengamat. 

Menurut Peneliti PSHK Nur Solikhin, ada persoalan mendasar dalan pembahasan RUU ini. Yakni pembahasan pasal per pasal yang langsung dilakukan oleh Panja. Padahal menurut tata tertib DPR, lanjut Solikhin, pembahasan sudah harus disepakati 50 persen dari 70 anggota alat kelengkapan dewan. Dalam hal ini Badan Legislatif. Panja hanya tinggal membahas hal-hal atau materi yang butuh pendalaman lagi.

 Pembahasan Panja pun dia anggap mengurangi partisipasi masyarakat karena Panja memang biasanya bersifat tertutup. Tapi hal ini tidak hanya terjsdi pada RUU Ciptaker menurut catatan PSHK, tapi juga pada RUU-RUU lain yang kontroversial seperti RUU KPK 2019 lalu. "Sekarang prakteknya selalu diserahkan langsung ke Panja. Ini bertentangan dengan tata tertib DPR," jelas Solikhin.

 Terpisah, Presiden Konfederasi Serikat Pekerja SPI Said Iqbal mengatakan, serikat buruh dengan tegas menolak sejumlah poin dalam rumusan RUU Cipta Kerja. Antara lain, mengenai hilangnya upah minimum kabupaten/kota (UMK) dan upah minimum sektoral kabupaten/kota (UMSK), adanya upah padat karya, kenaikan upah minimum hanya mengacu pada pertumbuhan ekonomi tanpa menambah inflasi, PHK yang dipermudah, hak upah atas cuti hilang, karyawan terancam kontrak seumur hidup, karyawan outsourcing seumur hidup, nilai pesangon dikurangi bahkan komponennya ada yang dihilangkan, jam kerja eksploitatif, hingga soal TKA buruh kasar mudah masuk ke Indonesia.

 Dia menegaskan, UMSK harus tetap ada. Akan tidak adil jika mereka yang bekerja di sektor otomotif atau pertambangan nilai UMK-nya sama dengan perusahan baju atau perusahaan kerupuk. Selain itu, jika UMSK hilang, berarti upah buruh di sektor industri akan terancam turun 30 persen. Padahal, jumlah buruh penerima UMSK saat ini mencapai puluhan juta orang. 

"Itulah makanya di seluruh dunia ada UMSK yang berlaku sesuai kontribusi nilai tambah tiap industri terhadap pdb negara," jelasnya. 

Nantinya, penetapan nilai kenaikan dan jenis industri yang mendapatkan UMSK dilakukan di tingkat nasional. Kemudian ditentukan untuk beberapa daerah dan jenis industri tertentu apa saja. Sehingga, UMSK tidak lagi diputuskan ditingkat daerah dan tidak semua industri mendapatkan UMSK. Agar ada keadilan. 

"Jadi tidak harus sama rata sama rasa. Karena faktanya setiap industri berbeda kemampuannya, maka masih dibutuhkan UMSK," ungkapnya.

 Kemudian, dengan berlakunya sistim kontrak dan outsourcing seumur hidup maka bisa mengancam hilangnya jaminan kesehatan dan pensiun. Selain itu, tidak bisa dipastikan siapa yang akan membayar jaminan kehilangan pekerjaan (JKP) bagi mereka. "Tidak mungkin buruh membayar kompensasi untuknya sendiri. Itu pun belum jelas," ujarnya.

Halaman:

Editor: izak-Indra Zakaria

Rekomendasi

Terkini

Siapkan Formasi Fresh Graduate Pindah ke IKN

Rabu, 24 Januari 2024 | 23:00 WIB

Truk Ambles di Drainase Proyek DAS

Rabu, 24 Januari 2024 | 11:31 WIB

Pengedar Sabu Diciduk Polisi saat Terlelap di Kamar

Rabu, 24 Januari 2024 | 11:30 WIB

Anies Prioritaskan Ketersediaan Lapangan Kerja

Rabu, 24 Januari 2024 | 11:27 WIB

Jepang vs Indonesia, Maju Tak Gentar...!!

Rabu, 24 Januari 2024 | 10:23 WIB

ASTAGA..!! Ada 26 Motor Hilang di Depan BIGmall

Rabu, 24 Januari 2024 | 10:16 WIB

Menantu Luhut Jadi Komisaris Utama Pindad

Rabu, 24 Januari 2024 | 10:11 WIB

Babinsa Sungai Dama Antar Warga ke Rumah Sakit

Rabu, 24 Januari 2024 | 10:09 WIB

18 Kecamatan di Kukar Kekurangan Pengawas TPS

Rabu, 24 Januari 2024 | 10:08 WIB

Algaka Pelanggar di Kukar Mulai Ditertibkan

Rabu, 24 Januari 2024 | 10:05 WIB

Karena Pemilu, Kasus Korupsi KPU Mahulu Terhambat

Rabu, 24 Januari 2024 | 10:05 WIB
X