Beban Berat Menunda Pilkada, Anggaran Pemilu Sudah Terplot, Penunjukan Pjs Jadi Pemantik

- Senin, 28 September 2020 | 18:51 WIB
-
-

SAMARINDA-Pilkada Serentak 2020 membawa kekhawatiran. Sempat terhenti di awal pagebluk medio Maret lalu, pesta demokrasi kembali bergulir tiga bulan berselang. Melanjutkan tahapan yang sempat terhenti. Kini pasangan calon (paslon) sudah ditetapkan dan masa kampanye pun tiba.

Kendati demikian, ketakutan pilkada jadi episentrum baru penyebaran Covid-19 terus menghantui. Lantaran jumlah yang terkonfirmasi positif Covid-19 se-Indonesia tak kunjung terkendali, termasuk di Kaltim. Kasus yang tercatat pun tak pernah melandai ketika proses pemilu dibuka kembali.

Dua organisasi keagamaan terbesar Nahdlatul Ulama dan Muhammadiyah, disusul Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) sudah mengguratkan sikap menolak pilkada selama pandemi tak terkontrol.

“Perlu kepastian dalam penerapan protokol kesehatan yang ketat,” ungkap anggota Dewan Pembina Perludem Titi Anggraini dalam diskusi daring bertajuk Pilkada di Tengah Pandemi, Sabtu (26/9). Terlebih, para penyelenggara pemilu justru cenderung terbelakang dalam membangun komunikasi ke publik, khususnya urusan transparansi perkembangan dan keamanan kesehatan tahapan yang berjalan. Sejauh ini, menurut dia, KPU cenderung mengikuti sikap pemerintah yang lebih dominan dalam urusan perkembangan dan keamanan kesehatan tahapan Pilkada Serentak 2020.

Bukan mengembangkan mitigasi pilkada di tengah pandemi saat ini. Sikap KPU RI ini pun akhirnya menjalar ke struktur paling dasar. Padahal, eksistensi KPU sebagai penyelenggara dibentuk dengan konstitusi yang lugas. Jika tak bisa mengendalikan komunikasi publik yang amburadul sejauh ini, sambung Titi, bakal menyajikan citra buruk ke publik. “Mestinya bisa introspeksi diri. Kalau seperti ini terus kehadiran mereka sebagai penyelenggara yang diatur konstitusi jelas jadi pertanyaan,” lanjutnya.

Di sisi lain, narasi pemanfaatan media dalam jaringan (daring) yang terus digaungkan agar mereduksi penyebaran pandemi justru seperti lingkaran kosong. Karena tak menyesuaikan kebutuhan dasar pemilih dalam mengakses informasi Pilkada Serentak 2020. Penyediaan akses tersebut cenderung memarginalkan kelompok masyarakat rentan, seperti masyarakat adat, disabilitas, hingga kelompok miskin. Penjangkauan informasi lewat digital belum menembus beberapa kelompok masyarakat tersebut padahal. Di sisi lain, ketimpangan ini justru menguntungkan petahana yang jadi peserta. Karena modal sosialisasi peranti pemerintahan yang sempat dimaksimalkan. “Padahal pilkada itu berbicara adil untuk semua,” singkatnya.

Sementara itu, pengamat politik dari Universitas Mulawarman (Unmul) Samarinda Budiman menilai, kegaduhan akan penundaan pilkada tak akan signifikan muncul di Benua Etam. Riak penolakan itu akan terjadi namun tak semasif penolakan di beberapa daerah besar di Jawa. Kultur masyarakat Kaltim yang mencari pilihan termudah kian dimanjakan karena ada opsi lain yang hadir, yakni enggan memilih karena takut berkerumun. “Tagar di rumah saja bakal jadi ramai. Secara tak langsung bisa menyiratkan memfasilitasi apatisme yang ada,” ungkapnya.

Mitigasi seberapa berbahayanya pandemi dalam pilkada tentu KPU yang paling mengetahui. Khususnya KPU daerah yang menjalankan pilkada. Kendati demikian, pola kerja KPU yang cenderung sesuai tupoksi dalam UU menekan munculnya riak-riak penolakan dari dalam tubuh penyelenggara pemilu.

Ada beberapa dasar yang memantik agar pilkada harus tetap berjalan. Seperti anggaran pemilu yang sudah terplot di APBD hingga sudah ditunjuknya pejabat sementara (Pjs) pengganti kepala daerah yang maju di pilkada.

“Dua hal ini jelas punya faktor besar mengapa riak itu tak muncul dari tubuh penyelenggara,” sambungnya. Anggaran, misalnya. Jerih payah lobi anggaran agar pilkada terfasilitasi maksimal lewat uang daerah jelas membuat para penyelenggara tak mau kerja dua kali jika akhirnya pilkada harus ditunda kembali. Di sisi lain, penetapan Pjs pun jelas memantik agar pilkada harus cepat terealisasi lantaran masa kerja Pjs yang ditunjuk cukup pendek dan punya kewenangan yang terbatas. “Apalagi setiap daerah perlu cepat menangani pandemi itu sendiri. Pjs tak punya kewenangan itu. Makin kuat alasan pilkada harus tetap dijalankan,” ulasnya.

Di satu sisi, target KPU dalam pilkada kali ini untuk meraup 77 persen partisipasi pemilih lebih mudah ditakar. Di pemilu biasanya, hari pencoblosan selalu jadi hari libur dan berpotensi dimanfaatkan pemilih untuk bepergian ke luar kota. Sementara kali ini, ada pembatasan cukup ketat bepergian dan mayoritas pemilih banyak berada di rumah saja. “Dengan begitu, potensi pilihan mereka ke kotak suara besar juga,” singkatnya. (ryu/riz/k15)

 

 

Editor: izak-Indra Zakaria

Tags

Rekomendasi

Terkini

Siapkan Formasi Fresh Graduate Pindah ke IKN

Rabu, 24 Januari 2024 | 23:00 WIB

Truk Ambles di Drainase Proyek DAS

Rabu, 24 Januari 2024 | 11:31 WIB

Pengedar Sabu Diciduk Polisi saat Terlelap di Kamar

Rabu, 24 Januari 2024 | 11:30 WIB

Anies Prioritaskan Ketersediaan Lapangan Kerja

Rabu, 24 Januari 2024 | 11:27 WIB

Jepang vs Indonesia, Maju Tak Gentar...!!

Rabu, 24 Januari 2024 | 10:23 WIB

ASTAGA..!! Ada 26 Motor Hilang di Depan BIGmall

Rabu, 24 Januari 2024 | 10:16 WIB

Menantu Luhut Jadi Komisaris Utama Pindad

Rabu, 24 Januari 2024 | 10:11 WIB

Babinsa Sungai Dama Antar Warga ke Rumah Sakit

Rabu, 24 Januari 2024 | 10:09 WIB

18 Kecamatan di Kukar Kekurangan Pengawas TPS

Rabu, 24 Januari 2024 | 10:08 WIB

Algaka Pelanggar di Kukar Mulai Ditertibkan

Rabu, 24 Januari 2024 | 10:05 WIB

Karena Pemilu, Kasus Korupsi KPU Mahulu Terhambat

Rabu, 24 Januari 2024 | 10:05 WIB
X