PROKAL.CO,
SAMARINDA-Pilkada Serentak 2020 membawa kekhawatiran. Sempat terhenti di awal pagebluk medio Maret lalu, pesta demokrasi kembali bergulir tiga bulan berselang. Melanjutkan tahapan yang sempat terhenti. Kini pasangan calon (paslon) sudah ditetapkan dan masa kampanye pun tiba.
Kendati demikian, ketakutan pilkada jadi episentrum baru penyebaran Covid-19 terus menghantui. Lantaran jumlah yang terkonfirmasi positif Covid-19 se-Indonesia tak kunjung terkendali, termasuk di Kaltim. Kasus yang tercatat pun tak pernah melandai ketika proses pemilu dibuka kembali.
Dua organisasi keagamaan terbesar Nahdlatul Ulama dan Muhammadiyah, disusul Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) sudah mengguratkan sikap menolak pilkada selama pandemi tak terkontrol.
“Perlu kepastian dalam penerapan protokol kesehatan yang ketat,” ungkap anggota Dewan Pembina Perludem Titi Anggraini dalam diskusi daring bertajuk Pilkada di Tengah Pandemi, Sabtu (26/9). Terlebih, para penyelenggara pemilu justru cenderung terbelakang dalam membangun komunikasi ke publik, khususnya urusan transparansi perkembangan dan keamanan kesehatan tahapan yang berjalan. Sejauh ini, menurut dia, KPU cenderung mengikuti sikap pemerintah yang lebih dominan dalam urusan perkembangan dan keamanan kesehatan tahapan Pilkada Serentak 2020.
Bukan mengembangkan mitigasi pilkada di tengah pandemi saat ini. Sikap KPU RI ini pun akhirnya menjalar ke struktur paling dasar. Padahal, eksistensi KPU sebagai penyelenggara dibentuk dengan konstitusi yang lugas. Jika tak bisa mengendalikan komunikasi publik yang amburadul sejauh ini, sambung Titi, bakal menyajikan citra buruk ke publik. “Mestinya bisa introspeksi diri. Kalau seperti ini terus kehadiran mereka sebagai penyelenggara yang diatur konstitusi jelas jadi pertanyaan,” lanjutnya.
Di sisi lain, narasi pemanfaatan media dalam jaringan (daring) yang terus digaungkan agar mereduksi penyebaran pandemi justru seperti lingkaran kosong. Karena tak menyesuaikan kebutuhan dasar pemilih dalam mengakses informasi Pilkada Serentak 2020. Penyediaan akses tersebut cenderung memarginalkan kelompok masyarakat rentan, seperti masyarakat adat, disabilitas, hingga kelompok miskin. Penjangkauan informasi lewat digital belum menembus beberapa kelompok masyarakat tersebut padahal. Di sisi lain, ketimpangan ini justru menguntungkan petahana yang jadi peserta. Karena modal sosialisasi peranti pemerintahan yang sempat dimaksimalkan. “Padahal pilkada itu berbicara adil untuk semua,” singkatnya.