Keselamatan warga lebih utama. Begitu kira-kira gambaran perayaan HUT Tenggarong, Kutai Kartanegara (Kukar) kali ini di tengah pandemi Covid-19. Digelar lebih sederhana ketimbang tahun-tahun sebelumnya.
RIFQI HIDAYATULLAH, Tenggarong
HARI ini (28/9), Tenggarong tepat berusia 238 tahun. Bila tahun sebelumnya Pemkab Kukar tak pernah absen menggelar berbagai kegiatan budaya, tahun ini perayaan tersebut terpaksa tak digelar.
Bukan karena anggaran yang tak ada, melainkan kondisi Covid-19 membatasi aktivitas semua pihak untuk melakukan kegiatan pengumpulan massa tersebut. Menjelang H-1 peringatan tersebut, Forum Koordinasi Pimpinan Daerah (FKPD) Kukar menggelar kegiatan haul jamak di kediaman Adji Pangeran Ratu di Jalan Ahmad Yani, Tenggarong.
Dipimpin langsung Plt Bupati Kukar Chairil Anwar, kegiatan berlangsung khidmat. Kegiatan itu, kata dia, dimaksudkan agar pemaknaan HUT Tenggarong termasuk sejarah hari jadi Tenggarong tetap tersampaikan.
“Kami memang tidak bisa menggelar kegiatan secara besar untuk mendukung penanggulangan Covid-19. Kami harapkan, hal itu dipahami dan dimaklumi bersama. Tapi tentu tidak mengurangi rasa khidmat,” ujarnya.
Haul jamak kali ini, ucap dia, digelar untuk mendoakan para tokoh pendiri Tenggarong. Baik semasa Kesultanan Kutai hingga era pemerintahan RI. Selain menggelar sidang paripurna, dalam HUT Tenggarong, seluruh pegawai di lingkungan Pemkab Kukar diminta menggunakan pakaian miskat khas Kutai. Sehingga, euforia tentang HUT Tenggarong tetap terasa.
Tenggarong diketahui memiliki sejarah panjang sebelum terbentuk. Penulis buku sejarah Muhammad Sarip pun menceritakan berbagai peristiwa terbentuknya ibu kota kabupaten itu.
Kerajaan Kutai Kartanegara awalnya beribu kota di Jaitan Layar dan Tepian Batu, yang kini disebut Desa Kutai Lama. Kedudukan di Kutai Lama berlangsung selama lebih dari empat abad, terhitung sejak berdirinya Dinasti Aji Batara Agung Dewa Sakti tahun 1300.
Pada 1732, Pangeran Anum Panji Mendapa Ing Martapura memindahkan ibu kota Kerajaan Kutai Kartanegara ke Pemarangan-Jembayan. Pada tahun itu juga, putra mahkota, yakni Aji Muhammad Idris, naik takhta dan gelar raja diganti sultan.
Lima puluh tahun setelah beristana di Pemarangan-Jembayan, putra Sultan Aji Muhammad Idris, yaitu Aji Imbut memindahkan ibu kota Kesultanan Kukar ke wilayah hulu dari Jembayan. Nama kampungnya adalah Tepian Pandan yang dihuni oleh Suku Kedang-Lampong.
Penulis buku Dari Jaitan Layar sampai Tepian Pandan Sejarah Tujuh Abad Kerajaan Kutai Kartanegara itu menyebut, peristiwa perpindahan ibu kota dari Jembayan ke Tenggarong tersebut ditetapkan oleh Pemkab Kutai pada 28 September 1782.