Berpotensi Makin Lesu, Pengusaha Mal Minta Relaksasi

- Senin, 28 September 2020 | 16:33 WIB
ilustrasi
ilustrasi

JAKARTA- Pemberlakuan kembali Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) dianggap sebagai pukulan susulan di tengah upaya pengusaha untuk bangkit pasca pukulan pertama PSBB Maret lalu. Salah satunya pelaku usaha di sektor pusat belanja. Asosiasi Pengelola Pusat Belanja Indonesia (APPBI) memprediksi bahwa kondisi mereka akan terus tertekan hingga tahun depan. Untuk itu, para pengusaha meminta pemerintah untuk memberikan relaksasi di antaranya mencakup tentang pembebasan sementara pajak dan pendapatan daerah.

Ketua DPP APPBI Alphonzus Widjaja menjelaskan kondisi bahwa pusat perbelanjaan tidak memiliki cadangan dana karena telah mengalami defisit sejak Maret 2020. Defisit tersebut menurut pelaku usaha, disebabkan oleh tingkat kunjungan dan daya beli masyarakat yang cenderung masih rendah hingga saat ini. ”Khusus pusat perbelanjaan di DKI Jakarta, kemunduran kembali terjadi sejak 14 September akibat pengetatan atas Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB),” ujarnya. APPBI sendiri juga telah menyampaikan hal tersebut melalui surat yang ditujukan untuk Menteri Koordinator Bidang Perekonomian sekaligus Ketua Komite Kebijakan Komite Penangangan Covid-19 Airlangga Hartarto.

Menurut Alphonzus, kondisi usaha pusat belanja diperkirakan baru bisa beranjak pulih menuju normal yaitu pada saat vaksinasi telah dilaksanakan. "Diperkirakan pusat perbelanjaan Indonesia baru pulih normal pada pertengahan tahun 2021," katanya. Oleh karenanya, APPBI meminta sejumlah bantuan agar dapat bertahan di tengah pandemi serta mencegah gelombang Pemutusan Hubungan Kerja (PHK).

APPBI mengajukan relaksasi selama setahun mulai 1 Oktober 2020 sampai dengan 30 September 2021. Adapun, relaksasi yang diajukan meliputi pembebasan sementara Pajak Penghasilan (PPh) final atas sewa, service charge, penggantian biaya listrik, PPh Pasal 21, Pasal 23, dan Pasal 25. Kemudian, pembebasan sementara Pajak Pertambahan Nilai (PPN) final atas sewa, service charge, dan penggantian biaya listrik. Selanjutnya, pembebasan sementara atas pendapatan daerah meliputi Pajak Bumi dan Bangunan (PBB), reklame, dan parkir.

Selain itu, APPBI juga meminta bantuan subsidi gaji karyawan 50 persen dari upah minimum yang berlaku di masing-masing daerah. Estimasi total subsidi mencapai Rp 6 triliun. Subsidi tersebut dapat disalurkan melalui BPJS secara langsung ke rekening masing-masing karyawan. Adapun, jumlah karyawan anggota APPBI kurang lebih 280 ribu orang.

Pada kesempatan sebelumnya, Alphonzus pernah menyebutkan, jika operasional pusat perbelanjaan berhenti maka akan ada Rp 12 triliun transaksi yang hilang dalam satu bulan. Angka tersebut menghitung rata-rata transaksi di pusat perbelanjaan Rp 150 miliar per bulannya dikalikan dengan 80 pusat perbelanjaan anggota APPBI di DKI Jakarta.

Menurut dia, pelaku usaha pusat belanja kali ini berpotensi lebih terpuruk dibanding pemberlakuan PSBB sebelumnya. Sebab, PSBB sebelumnya didahului oleh kondisi normal dimana pengusaha masih memiliki cadangan kas. Sementara itu, saat ini, pengusaha mal akan memasuki PSBB total kedua dalam kondisi keuangan yang lesu. ”Namun, tentu pusat perbelanjaan juga harus mematuhi dan mendukung apa yang akan diputuskan serta ditetapkan oleh pemerintah dengan segala resiko dan konsekuensinya. Tapi dapat dipastikan kondisi pusat perbelanjaan semakin memburuk,” pungkasnya.

Sementara itu, di lain pihak, Ketua Umum DPP Asosiasi Pengusaha Ritel Indonesia (Aprindo) Roy Mandey menilai bahwa PSBB yang dilakukan di berbagai daerah menjadi pukulan berat bagi para pelaku retail. Dia memperkirakan, terdapat 5-6 persen anggota Aprindo yang tutup dan belum bisa kembali buka hingga kini. “Jadi memang belum recovery saat ini. Aprindo sudah meminta agar PSBB kedua ini tidak sama seperti PSBB pertama. Kami mengapresiasi atas perhatian pemerintah untuk memberikan kesempatan ritel tetap buka dengan kapasitas 50 persen,” ujarnya.

Menurut Roy, karantina wilayah untuk masyarakat yang terdampak dan yang tidak disiplin, serta tidak digeneralisasi ke seluruh wilayah kota, akan jauh lebih baik dibandingkan dengan PSBB ketat dan menyeluruh. Dampak lain, lanjut Roy, nilai konsumsi rumah tangga yang berkontribusi 57,85 persen produk domestik bruto (PDB) Indonesia pada semester I lalu, berpotensi tergerus di semester II. “Ritel modern sebagai akses pasar bagi lebih dari 7 juta UMKM dan supplier untuk menjualkan produknya, akan kembali terdampak dan menurun setelah sempat membaik pada bulan Juli dan Agustus 2020,” ujarnya.

Di sisi lain, ritel modern yang terdampak Covid-19 dan PSBB ketat ini juga menyerap banyak tenaga kerja. Jika tidak segera dibantu pemerintah, maka akan terjadi peningkatan PHK. “Tenaga kerjanya jumlahnya signifikan untuk seluruh jaringan distribusi hingga sampai pada gerai ritel modern dan mal, yang berjumlah 3,5 juta pekerja,” pungkasnya. (agf)

 

Gambaran Trafik Kunjungan Pusat Belanja

 

Bulan Persentase (Dibanding Sebelum Pandemi)

Halaman:

Editor: izak-Indra Zakaria

Rekomendasi

Terkini

Pabrik Rumput Laut di Muara Badak Rampung Desember

Senin, 22 April 2024 | 17:30 WIB

Di Berau Beli Pertalite Kini Pakai QR Code

Sabtu, 20 April 2024 | 15:45 WIB

Kutai Timur Pasok Pisang Rebus ke Jepang

Sabtu, 20 April 2024 | 15:15 WIB

Pengusaha Kuliner Dilema, Harga Bapok Makin Naik

Sabtu, 20 April 2024 | 15:00 WIB
X