BONTANG–Sudah enam bulan ini Nani menjual masker scuba di pinggir Jalan Ahmad Yani, Kelurahan Api-Api, Kecamatan Bontang Utara. Tak lama setelah Bontang mencatat kasus perdana terkonfirmasi positif Covid-19 akhir Maret 2020 lalu. Dari penjualan masker itu, Nani dapat membiayai keperluan sehari-hari. Untuk makan, bayar air, dan listrik. Pun untuk membayar tagihan jaringan nirkabel bulanan anaknya yang masih sekolah.
"Kalau enggak jualan masker, mana bisa bayar internet anak-anak. Bisanya untuk makan saja," beber Nani. Sebelum alih profesi menjadi pedagang masker. Nani berjualan pentol bakar dan rebus di Pasar Malam Berbas Pantai. Tapi pendapatan dari sana tak bisa diharapkan. Terlebih di awal 2020, suaminya tak bekerja lagi. Pandemi, di satu sisi merenggut pekerjaan banyak orang. Di sisi lain, membuka lahan bisnis baru bagi mereka yang sigap melihat potensi.
"Kami jual motor buat modal masker, alhamdullilah sudah balik modalnya," ungkap dia. Tapi sejak empat hari lalu, kelesuan penjualan masker dirasakan. Bila pada hari biasa, Nani bisa memperoleh laba kotor Rp 400–550 ribu saban hari, kini dia hanya bisa memperoleh Rp 200–300 ribu. Setengah dari omzet biasanya.
Dia menduga, penjualan masker anjlok hingga 50 persen setelah keluarnya imbauan Kementerian Kesehatan (Kemenkes) meminta masyarakat menggunakan masker yang baik dan berbahan benar. Termasuk perihal masker kain. Dikatakan bila masker kain jenis skuba dan buff dinilai terlalu tipis, hanya ada satu lapis, sebabnya tak efektif menangkal penyebaran Covid-19. "Kenapa baru sekarang dibilang tidak efektif. Harusnya dari dulu," kata dia.
Senada diutarakan Aji. Sejak imbauan tersebut keluar, penjualan masker skuba anjlok hingga 50 persen. Dari rata-rata harian dia memperoleh laba kotor Rp 300–350 ribu, menjadi hanya Rp 150–200 ribu. "Jatuh, Mbak. Langsung kurang pembeli," ujar Aji kala disambangi di lapaknya di Jalan MH Thamrin, Bontang.
Terbuka dia melontarkan kekecewaan kepada Kemenkes. Sebab, dia menilai, pemerintah hanya melempar larangan atau imbauan tertentu, tapi tak dijelaskaan detail alasan di balik pelarangan. "Pemerintah enak tinggal ngomong, tinggal larang ini-itu. Kok lambat betul. Kemarin ke mana saja," sesalnya. (fit/kpg/edw/rdh/k8)