Atur Pemenang Dulu, Jalani Lelang Kemudian

- Selasa, 22 September 2020 | 13:37 WIB
Sidang pertama kasus dugaan suap dan gratifikasi di Kutai Timur.
Sidang pertama kasus dugaan suap dan gratifikasi di Kutai Timur.

Perkara suap dan gratifikasi yang menyeret Ismunandar dan Encek Unguria Riarinda Firgasih menyibak tirai betapa mudahnya pengaturan rekanan dalam proyek di lingkup pemerintahan. Aturan tak terlanggar, bagi-bagi komisi pun lancar.

 

SAMARINDA–Pertemuan pertama Deky Aryanto dengan Encek UR Firgasih terjadi medio 2017 silam. Di ruang kerja Encek di DPRD Kutai Timur (Kutim), kawasan Bukit Pelangi, Sangatta. Kala itu Deky selaku direktur CV Nulaza Karya, meminta bantuan ke Encek yang saat itu menjabat wakil ketua DPRD Kutim. Deky meminta bantuan penyelesaian pembayaran yang mandek dari beberapa kegiatan Pemkab Kutim yang ditanganinya.

Anjangsana itu berbuah manis. Semua piutang lunas terbayar dan komitmen baru terjalin di antara keduanya. Dana aspirasi atau pokok pikiran (pokir) Encek selaku anggota dewan bakal mengalir ke Deky. Sementara si rekanan, bersedia memenuhi kebutuhan operasional Encek berupa fee komitmen dengan persentase tertentu dari setiap proyek yang dikerjakan.

-

Relasi beracun nan rukun ini berlanjut hingga periode kedua Encek di DPRD Kutim periode 2019–2024. Terlebih, sejak dilantik pada 15 Agustus 2019, kursi ketua DPRD Kutim untuk lima tahun ke depan resmi jadi hak milik istri sang bupati itu. Peristiwa ini terurai dalam dakwaan yang dibacakan Jaksa Penuntut Umum (JPU) KPK Ali Fikri, Riniyanti Karnasih, dan Yoga Pratomo dalam sidang perdana dua rekanan, Deky Aryanto dan Aditya Maharani Yuono yang tertangkap tangan menyuap Ismunandar dan Encek UR Firgasih di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Samarinda, Senin (21/9).

Deky diduga memberi uang atau barang senilai Rp 8 miliar. Sementara Aditya Maharani diduga menyisihkan fee hasil proyek yang ditanganinya sebesar Rp 6,1 miliar. Di depan majelis hakim Pengadilan Tipikor Samarinda yang diketuai Agung Sulistiyono bersama Joni Kondolele dan Ukar Priyambodo itu, jaksa KPK mengurai bagaimana muasal hadirnya komitmen fee 10 persen dari setiap kegiatan yang dikerjakan kedua kontraktor ini.

Keduanya dijerat dakwaan alternatif tentang suap atau gratifikasi. Yakni Pasal 5 Ayat 1 Huruf a UU 31/1999 sebagaimana diubah dalam UU 20/2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juncto Pasal 65 Ayat 1 KUHP sebagai dakwaan kesatu. Lalu, Pasal 13 UU 31/1999 sebagaimana diubah dalam UU 20/2001 juncto Pasal 65 Ayat 1 KUHP di dakwaan kedua. Sebelum Encek jadi ketua DPRD, awal 2019, Deky sudah ditunjuk menjadi rekanan yang menghandel pokir miliknya yang tersebar di beberapa instansi Pemkab Kutim.

“Bahkan selepas dilantik, Encek mewanti-wanti seluruh kepala dinas Pemkab Kutim agar tak menyentuh anggaran yang berasal dari pokir anggota dewan,” ungkap Ali Fikri membaca dakwaan. Sekitar Oktober 2019, terdakwa Deky menemui Ahmad Firdaus, kepala Subbidang Pengkajian Pembangunan Daerah di Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (Bappeda) Kutim untuk meminta daftar proyek yang bersumber dari pokir Encek. Senarai itu, langsung diserahkan dan dipilah Encek ketika ditemuinya di DPRD Kutim.

Hasilnya, empat proyek senilai Rp 1,4 miliar diberikan kepada Deky dengan syarat terdakwa harus menyerahkan fee ketika diminta Encek. Salah satu proyek itu, peningkatan jalan RT 20, Dusun Sungai Tabuan, Desa Sangkima senilai Rp 500 juta. (baca infografis). Komitmen fee pun dipenuhi beberapa waktu kemudian. Terdakwa menyisihkan uang hasil empat kegiatan itu sebesar Rp 258,3 juta dalam bentuk uang tunai atau barang. (baca infografis).

Praktik kerja lancung ini berlanjut pada 2020.

Medio Desember 2019, jelang APBD Kutim 2020 disahkan, hasil utak-atik anggaran terungkap ada anggaran proyek senilai Rp 250 miliar. Tersebar pelbagai instansi pemerintahan yang bisa disunat 10 persen sebagai fee untuk pembiayaan operasional Bupati Ismunandar. Musyaffa, kepala Badan Pendapatan Darah (Bapenda) Kutim memanggil terdakwa Deky ke kantornya dan menawarkan beberapa proyek penunjukan langsung di Dinas Pendidikan Kutim senilai Rp 45 miliar. Tentunya dengan syarat dipotong fee 10 persen.

”Dana Rp 45 miliar ini merupakan bagian dari anggaran Rp 250 miliar yang diatur fee-nya sebesar 10 persen,” lanjut JPU Yoga mengurai.

Setuju, Deky pun langsung berkoordinasi dengan Disdik Kutim dengan bekal daftar proyek penunjukan langsung yang sudah disusun Musyafa, kepala Bapenda Kutim. Proyek berjalan, terdakwa merealisasikan fee 10 persen sesuai mufakat awal dengan nilai total Rp 7,75 miliar yang diberikannya beberapa tahap sepanjang Maret hingga April 2020. (baca infografis).

Halaman:

Editor: izak-Indra Zakaria

Tags

Rekomendasi

Terkini

Siapkan Formasi Fresh Graduate Pindah ke IKN

Rabu, 24 Januari 2024 | 23:00 WIB

Truk Ambles di Drainase Proyek DAS

Rabu, 24 Januari 2024 | 11:31 WIB

Pengedar Sabu Diciduk Polisi saat Terlelap di Kamar

Rabu, 24 Januari 2024 | 11:30 WIB

Anies Prioritaskan Ketersediaan Lapangan Kerja

Rabu, 24 Januari 2024 | 11:27 WIB

Jepang vs Indonesia, Maju Tak Gentar...!!

Rabu, 24 Januari 2024 | 10:23 WIB

ASTAGA..!! Ada 26 Motor Hilang di Depan BIGmall

Rabu, 24 Januari 2024 | 10:16 WIB

Menantu Luhut Jadi Komisaris Utama Pindad

Rabu, 24 Januari 2024 | 10:11 WIB

Babinsa Sungai Dama Antar Warga ke Rumah Sakit

Rabu, 24 Januari 2024 | 10:09 WIB

18 Kecamatan di Kukar Kekurangan Pengawas TPS

Rabu, 24 Januari 2024 | 10:08 WIB

Algaka Pelanggar di Kukar Mulai Ditertibkan

Rabu, 24 Januari 2024 | 10:05 WIB

Karena Pemilu, Kasus Korupsi KPU Mahulu Terhambat

Rabu, 24 Januari 2024 | 10:05 WIB
X