CATATAN Syahruddin *)
SUDAH sekali pilkada serentak ditunda oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU). Dari harusnya 23 September ini, menjadi 9 Desember akibat pandemi Covid-19. Kini pandemi belum diketahui kapan berakhir.
Nah, apakah pilkada layak dilanjutkan atau ditunda lagi? Tiga pihak yang terlibat berisiko jika tetap dilanjutkan. Yaitu penyelenggara, peserta, dan pemilih. Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) Nomor 2 Tahun 2020 memang tidak realistis mengatur tentang pemilu. Sebab, siapa yang tahu kapan berakhirnya pandemi ini.
Menyampaikan gagasan kampanye di masa pandemi, peserta harus siap menerima masyarakat yang nantinya hadir tidak terbatas jumlahnya. Ini jadi tantangan untuk peserta, mampukah memberi contoh yang baik sebelum dipilih rakyatnya mematuhi protokol kesehatan.
Selain itu, meski di masa pandemi ini peserta pemilu memiliki alasan membantu masyarakat karena kondisi sedang sulit, perlu dipertanyakan keikhlasan amalnya. Apakah untuk kepentingan meraup suara atau murni beramal.
Ada empat faktor yang membuat pilkada bisa diundur. Pertama, bencana alam, kerusuhan, gangguan keamanan, dan gangguan tahapan. Jika dilanjutkan sesuai perppu, hak hidup masyarakat harus dijamin sesuai Pasal 28 A UUD 1945, Pasal UU Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia (HAM).
Hak kesehatan salah satu hak fundamental yang memengaruhi kualitas kehidupan dan perkembangan peradaban sebuah bangsa. Tidak ada artinya kalau kita tidak sehat.
Kalau tidak mematuhi protokol kesehatan, bisa ada ancaman klaster baru dari pilkada ini. Apalagi Kabupaten Paser memiliki empat bakal paslon. Yang terbanyak di Kaltim.
Artinya bakal lebih banyak pergerakan massa dari tiap tim paslon sampai hari puncak. Semoga kita semua dilindungi Allah SWT dan terbebas dari penyakit berbahaya. (*/jib/kri/k16)
*) Penulis adalah tokoh masyarakat kelahiran Tanah Grogot, mantan kabag Humas dan Protokol Pemkot Samarinda.