Tuntut Formula Baru DBH Migas, Pemkot Balikpapan Diminta Realistis

- Senin, 14 September 2020 | 12:14 WIB

BALIKPAPAN-Momentum pemindahan ibu kota negara (IKN) ke Kaltim dimanfaatkan Pemkot Balikpapan untuk mengusulkan formulasi baru dana bagi hasil (DBH) minyak dan gas (migas). Sebagai kota penyangga, Balikpapan mengusulkan besaran pembagian DBH migas disamakan seperti daerah otonomi khusus (otsus). Yakni Papua dan Aceh yang menerima hingga 70 persen.

Sejak lima tahun lalu, Pemkot Balikpapan sudah mengusulkan formulasi pembagian DBH tersebut. Lalu usulan tersebut disuarakan lagi menyusul keputusan Presiden Joko Widodo yang memindahkan pusat pemerintahan dari DKI Jakarta ke Kaltim, Agustus 2019. Akan tetapi, pemerintah pusat belum memberikan respons atas usulan tersebut.

“Itu (DBH setara daerah otsus untuk Kaltim) baru usulan yang disampaikan oleh bapak wali kota (Rizal Effendi). Saat awal-awal sosialisasi IKN oleh Kementerian PPN (Perencanaan Pembangunan Nasional)/Bappenas. Namun sampai saat ini belum ada pembahasan khusus,” kata Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Daerah, Penelitian, dan Pengembangan (Bappeda Litbang) Balikpapan Agus Budi Prasetyo kepada Kaltim Post pekan lalu.

Wali Kota Balikpapan Rizal menambahkan, aspirasi tersebut sudah lama disuarakannya. Jauh sebelum pemerintah pusat merencanakan memindahkan IKN ke Kaltim. Dirinya dulu berkolaborasi dengan Awang Faroek Ishak ketika masih menjabat Gubernur Kaltim. Namun, keputusan presiden yang memindahkan IKN ke Kaltim membuka kembali peluang mengusulkan hal tersebut.

“Makanya kami minta lagi. Supaya DBH Kaltim disamakan daerah otsus,” ucapnya. Berdasarkan regulasi, Papua mendapatkan DBH migas sebesar 70 persen. Demikian juga Aceh. Sementara Kaltim menerima 15,5 persen DBH sektor minyak bumi dan 30,5 persen untuk sektor gas bumi. Adapun pemerintah pusat mendapat porsi 84,5 persen untuk minyak bumi dan 69,5 persen di sektor gas bumi.

“Harusnya Kaltim disamakan dengan Papua dan Aceh. Jadi formulasi DBH itu harusnya diubah,” kata politikus NasDem ini.

Formulasi besaran DBH diatur dalam UU 33/2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah. Untuk daerah otsus, pembagian DBH diatur dalam UU khusus. Yakni UU 21/2001 tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua dan UU 11/2006 tentang Pemerintah Aceh. “Kita mengusulkan minimal DBH Kaltim, bisa disamakan dengan Papua dan Aceh. Apalagi kita butuh anggaran yang besar, sebagai penyangga IKN. Dan ketersediaan migas Kaltim juga sudah terbatas,” katanya.

Sementara itu, ekonom Universitas Mulawarman (Unmul) Aji Sofyan Effendi berpendapat sebaliknya. Pemindahan IKN ke Kaltim membuat pusat menggelontorkan dana besar ke provinsi ini. Berdasarkan perencanaan yang sebelumnya disusun Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional (PPN)/Bappenas, anggaran pembangunan IKN diperkirakan mencapai Rp 466 triliun. Perinciannya, 19,2 persen atau setara Rp 93,5 triliun berasal dari APBN. Lalu 54 persen atau Rp 265,2 triliun berasal dari skema kerja sama pemerintah dan badan usaha (KPBU), dan sisanya 26,2 persen atau setara Rp 127,3 triliun berasal dari private sector.

“Jadi enggak ada apa-apanya, dibandingkan dengan dana bagi hasil Kaltim. Justru tanpa naiknya DBH migas pun, sebenarnya Kaltim sudah mendapat ratusan triliun. Efek dari pemindahan IKN,” katanya kemarin. Menurutnya, sah-sah saja wali Kota Balikpapan meminta hal tersebut. Aji Sofyan kemudian mengingatkan ketika Kaltim berjuang agar DBH migas bisa ditambah di Mahkamah Konstitusi beberapa tahun lalu.

“Tanpa IKN berjuang saja gagal. Apalagi dengan adanya rencana pemindahan IKN. Justru sekarang negara akan jorjoran membangun Kaltim. Kenapa meminta lagi,” sindirnya. Diketahui, Kaltim sempat mengajukan judicial review ke Mahkamah Konstitusi mengenai pembagian DBH SDA tersebut. Ada sembilan pemohon yang menuntut perubahan formulasi, khususnya pembagian DBH migas. Yakni Majelis Rakyat Kalimantan Timur Bersatu (MRKTB) selaku pemohon I, Sundy Ingan (kepala Desa Sungai Bawang, Kukar) selaku pemohon II, Andu (petani/ketua RT 14, Desa Badak Baru, Kukar) merupakan pemohon III, Jubaidah (nelayan Desa Bunyu Barat, Bulungan) selaku pemohon IV, dan Elia Yusuf (petani dan perangkat Desa Ba’liku, Nunukan) merupakan pemohon V.

Ada juga empat orang anggota DPR RI kala itu. Yakni Luther Kombong (pemohon VI), Awang Ferdian Hidayat (pemohon VII), Muslihuddin Abdurrasyid (pemohon VIII), dan Bambang Susilo (pemohon IX). Permohonan mereka diwakili oleh Muspani, Wakil Kamal, dan Iqbal Tawakkal Pasaribu. Permohonan judicial review ini didaftarkan pada 30 September 2011. Akan tetapi permohonan judicial review yang menuntut perubahan DBH untuk Kaltim ditolak majelis hakim yang berjumlah delapan orang.

Saat itu, Mahkamah Konstitusi diketuai Mahfud MD. Dengan hakim anggota, Achmad Sodiki, Ahmad Fadlil Sumadi, Maria Farida Indrati, M Akil Mochtar, Hamdan Zoelva, Harjono, dan Anwar Usman. Putusan diucapkan dalam sidang pleno MK yang terbuka untuk umum pada 12 September 2012. Di mana pemohon I sampai dengan pemohon V memiliki kedudukan hukum (legal standing) untuk mengajukan permohonan a quo. Sedangkan pemohon VI sampai dengan pemohon IX tidak memiliki legal standing untuk mengajukan permohonan a quo. Dan permohonan para pemohon tidak beralasan menurut hukum.

“Jadi, yang harus dipikirkan bukan hanya Kaltim saja. Berbeda dengan Papua dan Aceh, yang berkaitan dengan faktor politik dan keamanan nasional,” pungkasnya. (kip/riz/k15)

Editor: izak-Indra Zakaria

Tags

Rekomendasi

Terkini

Siapkan Formasi Fresh Graduate Pindah ke IKN

Rabu, 24 Januari 2024 | 23:00 WIB

Truk Ambles di Drainase Proyek DAS

Rabu, 24 Januari 2024 | 11:31 WIB

Pengedar Sabu Diciduk Polisi saat Terlelap di Kamar

Rabu, 24 Januari 2024 | 11:30 WIB

Anies Prioritaskan Ketersediaan Lapangan Kerja

Rabu, 24 Januari 2024 | 11:27 WIB

Jepang vs Indonesia, Maju Tak Gentar...!!

Rabu, 24 Januari 2024 | 10:23 WIB

ASTAGA..!! Ada 26 Motor Hilang di Depan BIGmall

Rabu, 24 Januari 2024 | 10:16 WIB

Menantu Luhut Jadi Komisaris Utama Pindad

Rabu, 24 Januari 2024 | 10:11 WIB

Babinsa Sungai Dama Antar Warga ke Rumah Sakit

Rabu, 24 Januari 2024 | 10:09 WIB

18 Kecamatan di Kukar Kekurangan Pengawas TPS

Rabu, 24 Januari 2024 | 10:08 WIB

Algaka Pelanggar di Kukar Mulai Ditertibkan

Rabu, 24 Januari 2024 | 10:05 WIB

Karena Pemilu, Kasus Korupsi KPU Mahulu Terhambat

Rabu, 24 Januari 2024 | 10:05 WIB
X