Saat Titi Anggraini sempat mempertimbangkan kuliah di luar negeri, Komarudin Hidayat menasihati, ’’Pemilu 2004 terlalu menarik untuk ditinggalkan.’’ Keluarga yang egaliter menguatkan dia di tengah dunia kerja yang kerap patriarkis.
BAYU PUTRA, Jakarta
’’KALAU tidak sekolah di Jakarta, Titi pasti akan kena perkawinan usia dini.’’ Sepenggal pesan dari sang bunda itu turut membawa Titi Anggraini ke jalan perjuangan mengawal liku-liku demokrasi Indonesia pasca-Orde Baru.
Karir terakhir Titi adalah menggawangi Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi atau yang biasa disebut Perludem. Sebuah organisasi non pemerintah yang perhatian terhadap perkembangan kepemiluan di tanah air.
Dalam 10 tahun terakhir, Titi menjadi direktur eksekutif Perludem. Sebelum dia berhasil lengser dari posisi tersebut pada 23 Agustus lalu. Keinginan yang dia perjuangkan sejak dua tahun silam.
Total sudah 21 tahun Titi bergelut dengan pemilu. Dia memulainya di bangku kuliah, saat masih menempuh tiga semester di Fakultas Hukum Universitas Indonesia (UI) pada 1999. Itulah tahun penentuan bagi Indonesia. Pemilu pertama pasca tumbangnya Orde Baru.
Kala itu Titi ditunjuk mewakili angkatannya di UI untuk menjadi bagian dari Panwaslu (sekarang Bawaslu) Pusat. Dari situlah Titi mulai melihat secara utuh bagaimana sebuah proses pemilu. Setelah sekian lama, pemilu Indonesia diikuti banyak partai politik. Ada 48 partai politik yang menjadi peserta dalam Pemilu 1999.
Pada tahun tersebut, masyarakat sedang dilanda euforia perubahan. Sistemnya masih tetap proporsional tertutup. Namun, untuk kali pertama pemilu Indonesia membuka keran kepesertaan multipartai.
’’Meski harus diakui, aktor-aktor politik yang terlibat juga adalah bagian dari kekuasaan masa lalu,’’ ujar Titi saat berbincang dengan Jawa Pos Rabu pekan lalu (9/9).
Apa pun itu, Pemilu 1999 menjadi tonggak sejarah. Sebab, menghasilkan orang-orang yang melahirkan amandemen UUD 1945 beserta berbagai turunannya. Misalnya, pembentukan Mahkamah Konstitusi dan KPK. Termasuk yang paling krusial adalah pilpres langsung dan embrio pemilu legislatif dengan sistem proporsional terbuka.
Pada Pemilu 2004, khususnya pileg, sistem yang digunakan adalah proporsional semi terbuka. Untuk bisa terpilih, setiap caleg harus mendapat suara sebanyak harga satu kursi atau bilangan pembagi pemilih.
Itulah yang dirasa berat bagi para caleg untuk memenuhinya. Baru pada Pemilu 2009, sistem proporsional terbuka benar-benar dijalankan.