Bambang Iswanto
Dosen Institut Agama Islam Negeri Samarinda
JUDUL tulisan ini merupakan terjemahan dari ungkapan bahasa Arab “wujuduhu ka’adamihi”. Secara kontekstual, ungkapan itu sering dihubungkan dengan keberadaan sesuatu yang tidak memberikan manfaat kepada lingkungan sekitar. Bisa dikaitkan dengan keberadaan benda ataupun manusia.
Gedung olahraga yang dibangun dengan biaya puluhan miliar bahkan ratusan tetapi tidak dimanfaatkan lagi, masuk kategori ungkapan itu. Bangunan mahal itu tidak ada manfaatnya lagi. Wujudnya masih ada, tapi tidak bisa dipergunakan lagi.
Ungkapan tersebut lebih sering disandarkan kepada manusia. Dipakai untuk menggambarkan keberadaan seseorang yang tidak memberikan manfaat di tengah kehidupan masyarakat. Ada atau tidak ada orang ini, sama saja. Tidak memberi dampak positif apapun kepada masyarakat. Istilah gampangnya, orang “tidak penting”.
Manusia yang ideal tentu saja manusia yang memberi manfaat terhadap lingkungan sekitarnya di tempat dia berada, sesuai dengan sabda Rasul, “sebaik-baiknya manusia adalah yang paling bermanfaat bagi manusia lainnya”. Kehadirannya memberikan maslahat, menguntungkan, dan selalu dinantikan.
Tipe manusia ideal itu berbanding terbalik dengan manusia yang diungkapkan sebagai “adamihi khairun min wujudihi”, ketiadaannya lebih baik dari dibanding keberadaannya. Golongan seperti itu adalah orang-orang yang sering membuat resah masyarakat. Dalam tingkatan tertentu sering diistilahkan sampah masyarakat.
Kehadirannya membuat lingkungan sekitar menjadi buruk. Dengan memunculkan ketidakamanan dan ketidaknyamanan. Bahkan, mengancam keberadaan orang-orang lain.
Dari aspek dampak, ungkapan “adanya seperti tiada”, jika dinisbahkan kepada benda dan orang, bisa jadi tidak merugikan orang lain. Kehadirannya tidak menguntungkan, namun juga tidak merugikan orang lain.
Yang berbahaya adalah ungkapan itu dihubungkan dengan pandemi Covid-19. Keberadaan Covid-19 yang nyata di depan mata, dianggap seperti tidak ada. Sudah banyak yang terpapar, terinfeksi, bahkan sudah banyak memakan korban jiwa, tetap menganggapnya seperti tidak terjadi apa-apa.
Kondisi seperti itulah diyakini menjadi salah satu pemicu meningkatnya kembali kasus Covid-19 di Samarinda dan daerah-daerah lain secara signifikan. Samarinda dalam beberapa pekan tetap bertahan sebagai zona merah. Demikian pula Kutai Kartanegara. Di dua daerah itu tren kasus positif semakin meningkat. Paralel dengan kasus kematiannya yang juga semakin meningkat.
HARUS DIANGGAP NYATA