Kerja aparat penegak hukum (APH) memang kerap berawal dari laporan masyarakat. Sesuai dengan ketentuan, setiap orang memang berhak mengadu dan melapor ke penyelidik atau penyidik. Asal orang itu mengalami, melihat, menyaksikan, dan atau menjadi korban peristiwa tindak pidana. Aturan itu ada di pasal 108 ayat (1) KUHAP (kitab acara pidana).
Di dunia kriminologi, ada beberapa istilah bagi mereka yang memberikan informasi perbuatan dugaan tindak pidana. Misalnya, cepu, SP (spion polisi), informan, agen, dan saksi yang bekerja sama (whistleblower). Mereka umumnya memberikan informasi tentang peristiwa pidana atau keterlibatan pihak yang diduga melakukan tindak pidana.
Nah, dalam beberapa kasus, kelompok Masyarakat Antikorupsi Indonesia (MAKI) memainkan peran sebagai pemberi informasi tersebut. Meski tidak menjalankan sistem kerja terstruktur, informasi dari MAKI cukup membuat orang awam ’’geleng-geleng’’. Dari mana dan bagaimana mereka mendapatkan informasi dan data yang akurat?
Koordinator MAKI Boyamin Saiman menuturkan, informasi yang diteruskan ke aparat berwajib berasal dari banyak sumber. Di kasus dugaan pelanggaran etik Ketua KPK Firli Bahuri, misalnya, data yang dilaporkan ke Dewan Pengawas (Dewas) KPK berawal dari sumber yang berjenjang. ’’Apalagi itu acara (Firli di Baturaja, Red) di tempat umum,’’ ujarnya saat ditemui di Solo, Sabtu (5/9).
Sehari setelah menerima foto Firli menaiki helikopter mewah, MAKI langsung menyiapkan pelaporan tentang dugaan pelanggaran etik bergaya hidup mewah atau hedonis. Pimpinan dan pegawai KPK sesuai dengan aturan dilarang menunjukkan gaya hidup hedonis.
’’Naik helikopter biasa saja sudah mewah bagi saya, apalagi naik helikopter president class,’’ ungkapnya.