MAKI menerima informasi dari pesan pendek, telepon, atau ketemu langsung. Prinsip kerja mereka: semua informasi dugaan perbuatan menyimpang diteruskan ke penegak hukum. Jika aparatnya mbalela, ya digugat ke pengadilan.
AGUS DWI P.-SAHRUL Y., Jakarta-Solo, Jawa Pos
SEANDAINYA Eugene-Francois Vidocq tidak mau bekerja sama dengan aparat penegak hukum di Prancis pada 1800-an silam, barangkali geng-geng perampok di sana aman-aman saja. Jika tim satuan tugas (satgas) Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang dipimpin Novel Baswedan tak menjejaki informasi soal ’’selingkuhan’’ Tin Zuraida, mungkin Nurhadi belum ketemu sampai sekarang.
Di kasus Djoko Soegiarto Tjandra, seandainya permohonan peninjauan kembali (PK) di Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Selatan pada Juni lalu tak terdeteksi, buron yang akrab disapa Joker itu mungkin tetap santai. Tanpa capek-capek berurusan dengan tiga lembaga penegak hukum sekaligus: Polri, Kejaksaan Agung (Kejagung), dan KPK.
Kerja aparat penegak hukum (APH) memang kerap berawal dari laporan masyarakat. Sesuai dengan ketentuan, setiap orang memang berhak mengadu dan melapor ke penyelidik atau penyidik. Asal orang itu mengalami, melihat, menyaksikan, dan atau menjadi korban peristiwa tindak pidana. Aturan itu ada di pasal 108 ayat (1) KUHAP (kitab acara pidana).
Di dunia kriminologi, ada beberapa istilah bagi mereka yang memberikan informasi perbuatan dugaan tindak pidana. Misalnya, cepu, SP (spion polisi), informan, agen, dan saksi yang bekerja sama (whistleblower). Mereka umumnya memberikan informasi tentang peristiwa pidana atau keterlibatan pihak yang diduga melakukan tindak pidana.
Nah, dalam beberapa kasus, kelompok Masyarakat Antikorupsi Indonesia (MAKI) memainkan peran sebagai pemberi informasi tersebut. Meski tidak menjalankan sistem kerja terstruktur, informasi dari MAKI cukup membuat orang awam ’’geleng-geleng’’. Dari mana dan bagaimana mereka mendapatkan informasi dan data yang akurat?
Koordinator MAKI Boyamin Saiman menuturkan, informasi yang diteruskan ke aparat berwajib berasal dari banyak sumber. Di kasus dugaan pelanggaran etik Ketua KPK Firli Bahuri, misalnya, data yang dilaporkan ke Dewan Pengawas (Dewas) KPK berawal dari sumber yang berjenjang. ’’Apalagi itu acara (Firli di Baturaja, Red) di tempat umum,’’ ujarnya saat ditemui di Solo, Sabtu (5/9).
Sehari setelah menerima foto Firli menaiki helikopter mewah, MAKI langsung menyiapkan pelaporan tentang dugaan pelanggaran etik bergaya hidup mewah atau hedonis. Pimpinan dan pegawai KPK sesuai dengan aturan dilarang menunjukkan gaya hidup hedonis.
’’Naik helikopter biasa saja sudah mewah bagi saya, apalagi naik helikopter president class,’’ ungkapnya.
Untuk kasus Djoko Tjandra, MAKI bukan pihak pelapor. Namun, MAKI ikut berkontribusi memberikan informasi tentang kejanggalan status kependudukan Joker. Lewat akses sistem kependudukan dan pencatatan sipil, MAKI mendapati ada yang aneh dalam pembuatan kartu tanda penduduk elektronik (e-KTP) Djoko Tjandra di Kelurahan Grogol Selatan, Jakarta.
Sepengetahuan MAKI, Djoko Tjandra adalah buron yang tercatat memiliki paspor Papua Nugini. Artinya, Joker bukan lagi warga negara Indonesia (WNI). Sebab, bila merujuk penjelasan umum UU Kewarganegaraan, Indonesia tidak mengenal dwi kewarganegaraan (bipatride) atau tanpa kewarganegaraan (apatride).