Samarinda adalah ibu kota Kaltim. Namun, status itu bukan jaminan menemukan sinyal internet dengan mudah. Pelajar di Jalan Rejo Mulyo, Kelurahan Lempake, Kecamatan Samarinda Utara, harus bersusah payah ke bukit.
DWI RESTU, Samarinda
AWAN hitam menggantung di langit Samarinda. Belasan anak beradu cepat untuk sampai ke kawasan bukit perkebunan kelapa sawit. Maklum, lambat sedikit, jalan tanah meski berbentuk anak tangga sudah pasti sulit dilalui.
Kaltim Post bertandang pagi-pagi ke tempat anak-anak pinggiran itu belajar belum lama ini. Aksesnya cukup licin. Pasalnya, ibu kota Kaltim kerap diguyur hujan menjelang petang. Bukan hanya di perkebunan sawit, anak-anak juga harus berjibaku melintas di jalur tambang batu bara untuk sampai di ketinggian. Tak banyak spot di jalur hauling emas hitam. Rumput dan nyamuk jadi pengganggu pembelajaran lewat daring.
“Kadang kalau sudah pas titik jaringannya enggak boleh goyang. Pindah dikit, hilang internet,” ucap Desi Ismi Retno, pelajar kelas IX di salah satu sekolah negeri di Samarinda. Gadis yang kerap bergaya rambut kuncir kuda itu tak bisa berbuat banyak saat di rumah. “Di bawah (rumah) enggak ada jaringan. Kalau telepon saja cuma bisa pakai handphone jadul. Kalau gadget susah,” sambungnya.
Di titik lain, anak-anak harus belajar di tepi jurang, mendirikan pondok menggunakan ranting pohon. “Biasanya anak laki-laki di pondok, tapi jalurnya ngerik,” tambahnya. Bahkan, untuk sampai ke jalur tambang, Desi dan rekan-rekan harus melewati jalan tanah berpadu batu. Tak jarang ada lumpur di sepanjang jalan menuju tempat mendapatkan sinyal. Jaraknya sekitar 2 kilometer dari jalan utama perkampungan.
Desi merasakan benar bedanya belajar daring dibandingkan tatap muka dengan guru di sekolah. “Banyak kurang pahamnya, belajar di sini (pondok) kan waktunya terbatas. Di gunung juga enggak ada listrik,” ujarnya dengan wajah memelas.
Namun, Desi dan rekan-rekan justru tak ingin terpuruk dengan kondisi saat ini. Tak ingin kalah dengan keadaan. “Ya harus tetap belajar meski sulit dan tertinggal. Belajar harus tetap dijalani,” ucapnya dengan nada pelan.
Bertolak ke tempat belajar di kawasan perbukitan lainnya, untuk belajar daring, anak-anak harus bertaruh nyawa melintas di jalan cor perkampungan. Sisi kanan atau kiri jalan cor selebar 2 meter itu beberapa di antaranya jurang yang cukup dalam. Bahkan, beberapa titik sudah rusak dan terancam tak bisa dilintasi.
Rabaniah, ibu rumah tangga yang akrab dengan sapaan Mama Nia, disibukkan setiap harinya dengan aktivitas baru. “Sekolah dari rumah, saya benar-benar pusing, Mas,” ucapnya kala ditemui di pondok.