Bambang Iswanto
Dosen Institut Agama Islam Negeri Samarinda
SEJAK pertama tayang di kanal YouTube, 17 Agustus lalu, film Tilik sudah ditonton lebih dari 21 juta kali. Angka itu cukup mencengangkan untuk capaian sebuah film. Sudah banyak film yang diluncurkan pada media kanal yang sama tetapi sepi peminat, meski sudah diiklankan secara gencar.
Kekuatan film itu bukan pada kualitas teknik perfilman seperti penggunaan teknologi effect atau kamera canggih. Bukan pula mengandalkan kekuatan figur pemain-pemainnya yang terkenal. Dan jangan pernah berharap menemukan artis-artis yang cantik apalagi seksi, seperti yang dijadikan andalan beberapa film untuk menarik penonton. Terlihat sekali film itu dibuat dengan biaya murah dan tanpa neko-neko.
Lokasi syuting utama film hanya bagian bak truk angkutan yang diceritakan sedang libur mengangkut muatan. Sepanjang film, penonton hanya melihat bak truk beserta penumpangnya yang seluruhnya ibu-ibu. Diselingi dengan jalan dan pemandangan di pinggir jalan, lalu ada musala sebagai tempat pemberhentian ketika ada yang ingin buang hajat dan salat Zuhur.
Booming-nya film Tilik lebih karena realita yang disampaikan. Tilik mencerminkan fakta sebagian orang Indonesia. Potret keseharian perilaku yang dilakoni banyak orang. Semua mengalir, berjalan apa adanya.
Sebagian besar perilaku tersebut tergambar dari dialog yang dimonopoli oleh tokoh sentral film ini yaitu Bu Tejo. Sebagian cerminan gambaran masyarakat yang lain tergambar dalam beberapa adegan yang melibatkan orang lain seperti sopir truk dan polisi.
PESAN MORAL
Film Tilik menceritakan perjalanan ke rumah sakit oleh beberapa warga dusun yang ingin membesuk Bu Lurah mereka. Perjalanan diisi dengan gosip seorang gadis, warga mereka sendiri yang bernama Dian.
Bu Tejo selalu memantik cerita miring tentang Dian yang digambarkan sebagai perempuan nakal. Punya banyak harta dari pekerjaan yang tidak-tidak. Digosipkan oleh Bu Tejo pernah kedapatan pergi dengan macam-macam pria. Bu Tejo juga mengira Dian pernah hamil karena kelihatan muntah-muntah seperti orang hamil. Sampai cerita tentang kedekatannya dengan anak Bu Lurah yang sedang sakit.
Gosip tentang Dian, itulah tema besar obrolan sepanjang perjalanan Bu Tejo dan rombongan. Sesekali gosip dari Bu Tejo coba dibantah oleh Yu Ning dan beberapa warga lain. Namun, dengan mimik dan suara yang meyakinkan, Bu Tejo tetap mendominasi dan memberikan warna dialog. Data dari antah-berantah selalu disampaikan Bu Tejo. Sehingga terlihat banyak yang terpengaruh dengan “kharisma” retorika Bu Tejo.
Film yang disutradarai oleh Wahyu Agung Prasetyo itu tidak lepas dari pro-kontra. Selain banyak yang suka, tidak sedikit yang memberikan kritik. Terutama pada ending film yang seakan memberikan pembenaran gosip dari Bu Tejo.