Milenial dan Gig Economy, Secercah Harapan Melawan Resesi Imbas Pandemi

- Jumat, 4 September 2020 | 13:37 WIB

Muhamad Fadhol Tamimy, SPsi

Penulis Buku Sharing Mu Personal Branding Mu

Berdinas di Lembaga Pemasyarakatan Kelas IIA Tenggarong

 

Efisiensi jadi kata kunci yang selalu dibahas di mana pun berada. Baik itu di bidang pemerintahan, pendidikan, hingga perindustrian. Terlebih dunia industri yang berpatokan pada seberapa besar selisih cuan yang akan dihasilkan. Sebab itu, efisiensi menjadi ujung tombak penentu keberhasilan.

Hal ini semakin relevan di kala masa pandemi Covid-19, yang memaksa sebagian besar bidang usaha mengurangi jam kerja hingga adanya social distancing. Sebuah keadaan muram yang semakin menyedihkan saat gelombang PHK massal tiba.

Teringat suatu kali cuitan mantan karyawan swasta yang bergaji puluhan juta, harus rela dipotong 50 persen gajinya. Dia mengeluhkan pemotongan tersebut berimbas pada kondisinya akibat banyaknya biaya hidup terutama cicilan.

Sebuah potret muram akibat kondisi yang tidak terprediksi. Setiap lini dipaksa beradaptasi dengan kondisi new normal. Di luar gegap gempitanya new normal dengan segala striknya protokol kesehatan, terselip harapan bangkitnya ekonomi saat ini.

Ia berasal dari kegiatan ekonomi yang khas dengan kreativitas dan mobilitas tinggi. Kegiatan tersebut termaktub dalam gig economy. Kegiatan ekonomi yang menggunakan pekerja melalui sistem temporal tertentu dibandingkan dengan sistem tetap. Hal ini dilakukan untuk menghemat biaya operasional. Tak perlu membayar aneka ragam tunjangan hingga kompensasi PHK pun dapat dengan mudah dilupakan.

Pola Gig Economy

Pola seperti ini pada akhirnya membawa dampak kebiasaan yang berubah dalam dunia kerja. Baik pekerja maupun pemberi kerja dihadapkan pada dua pilihan yang terkadang menguntungkan dan terkadang merugikan. Pasalnya, dengan sistem temporal, para pekerja dapat dengan bebas menentukan, apakah dia mau meneruskan atau memperpanjang kerja sama. Sementara dia akan dirugikan dengan ketidakpastian dan kompensasi yang diberikan.

Sebaliknya begitu pula dengan pemberi kerja. Jika merasa tidak sreg, mereka akan dengan mudah menentukan keberlanjutan kerja sama. Pun begitu dengan kompensasi buntut dari pemutusan kontrak. Kerugiannya, saat pemberi kerja merasa performa pekerjanya sedang bagus, mereka tidak mau memperpanjang kontrak yang disodorkan.

Inilah yang dinamakan pola gig economy. Status pekerja dalam sebuah usaha bukanlah karyawan tetap, melainkan sementara (kontrak). Pola ini pun memunculkan gig worker dari berbagai kalangan yang ikut serta dalam sejumlah proyek, dari data saintis, creative, IT, dan lainnya.

Penulis pun pernah merasakan pola gig economy sangat menguntungkan dalam proyek-proyek yang dikerjakan. Suatu kali penulis pernah membuka proyek membangun situs lautanpsikologi.com dan psikoma.com. Dalam proses pembangunannya, tentu saja membutuhkan banyak tenaga dengan bujet terbatas.

Halaman:

Editor: izak-Indra Zakaria

Tags

Rekomendasi

Terkini

Siapkan Formasi Fresh Graduate Pindah ke IKN

Rabu, 24 Januari 2024 | 23:00 WIB

Truk Ambles di Drainase Proyek DAS

Rabu, 24 Januari 2024 | 11:31 WIB

Pengedar Sabu Diciduk Polisi saat Terlelap di Kamar

Rabu, 24 Januari 2024 | 11:30 WIB

Anies Prioritaskan Ketersediaan Lapangan Kerja

Rabu, 24 Januari 2024 | 11:27 WIB

Jepang vs Indonesia, Maju Tak Gentar...!!

Rabu, 24 Januari 2024 | 10:23 WIB

ASTAGA..!! Ada 26 Motor Hilang di Depan BIGmall

Rabu, 24 Januari 2024 | 10:16 WIB

Menantu Luhut Jadi Komisaris Utama Pindad

Rabu, 24 Januari 2024 | 10:11 WIB

Babinsa Sungai Dama Antar Warga ke Rumah Sakit

Rabu, 24 Januari 2024 | 10:09 WIB

18 Kecamatan di Kukar Kekurangan Pengawas TPS

Rabu, 24 Januari 2024 | 10:08 WIB

Algaka Pelanggar di Kukar Mulai Ditertibkan

Rabu, 24 Januari 2024 | 10:05 WIB

Karena Pemilu, Kasus Korupsi KPU Mahulu Terhambat

Rabu, 24 Januari 2024 | 10:05 WIB
X