Cerita Dokter yang Bertugas Menangani Pasien Covid-19

- Selasa, 1 September 2020 | 12:58 WIB
ilustrasi
ilustrasi

ANGKA kematian dokter akibat Covid-19 yang terus bertambah membuat dokter spesialis paru di Jakarta Eva Sri Wardana merasa waswas. Bukan hanya karena virus yang bisa menular kapan pun, tapi juga karena ”peralatan perang” yang minim. ”Saya bekerja dengan APD (alat pelindung diri, Red) yang tidak memadai,” keluhnya kemarin.

Eva bercerita bahwa dirinya bekerja di dua rumah sakit (RS). Belum lagi harus jaga bergantian di RS Darurat Wisma Atlet Kemayoran. Di sisi lain, APD yang diberikan minim. Dia mencontohkan masker N95 yang hanya diberikan satu buah untuk seminggu. Padahal, masker itu idealnya harus sering diganti.

”Dokter umum dan perawat ada yang hanya diberi satu masker bedah untuk sehari dan baju biasa. Akhirnya beli sendiri,” ujarnya. Dia merasa lebih beruntung karena mampu membeli APD sendiri. Saat ini di mobilnya ada banyak APD.

Selain soal APD, beban kerja pun tinggi. ”Aturannya kerja 8 jam sehari, kenyataannya bisa 7 x 24 jam,” ungkapnya. Bahkan, ketika baru sampai rumah, tak jarang Eva harus menerima telepon konsultasi. Dia bisa memaklumi hal itu. Sebab, jumlah pasien terlalu banyak.

Padahal, jumlah tenaga kesehatan makin sedikit. Ada yang meninggal. Ada pula yang harus dikarantina karena terpapar Covid-19. Akibatnya, RS kewalahan. ”Teman-teman sering cerita soal itu. Sampai ada istilah, kalau belum positif (Covid-19) belum cuti. Mau cuti sendiri, tidak enak sama teman,” ucap Eva.

Yang membuatnya sedih, masyarakat seolah tak mau tahu dengan kondisi pandemi. Banyak yang tak mau diam di rumah. Eva memahami bahwa hal itu disebabkan ekonomi melorot sehingga semua susah. Tenaga medis pun demikian.

Hal lain yang membuatnya sedih adalah anggapan bahwa ada pihak-pihak yang memanfaatkan Covid-19 untuk mencari untung. Kenyataannya, gaji Eva justru tinggal sepertiganya. Pihak RS memiliki kebijakan memotong gaji lantaran tak ada pasien ke klinik dan tindakan lain di luar Covid-19. ”Saya itu kesal karena Covid dibilang hoaks, konspirasi, dan dituduh mencari untung dengan mendiagnosis pasien Covid-19,” ungkapnya.

Eva sampai mendapat ultimatum dari keluarga untuk meninggalkan satu RS. Sebab, pekerjaannya berisiko. Belum lagi waktu bekerja kian panjang. Dia juga ingin merasakan bagaimana mengajari anak sekolah daring. ”Saya bukan Wonder Woman. Mau pergi takut. Di rumah sakit takut. Kadang kepikiran bisa tertular dan gimana kalau meninggal,” cetusnya. (lyn/c9/oni)

Editor: izak-Indra Zakaria

Rekomendasi

Terkini

Siapkan Formasi Fresh Graduate Pindah ke IKN

Rabu, 24 Januari 2024 | 23:00 WIB

Truk Ambles di Drainase Proyek DAS

Rabu, 24 Januari 2024 | 11:31 WIB

Pengedar Sabu Diciduk Polisi saat Terlelap di Kamar

Rabu, 24 Januari 2024 | 11:30 WIB

Anies Prioritaskan Ketersediaan Lapangan Kerja

Rabu, 24 Januari 2024 | 11:27 WIB

Jepang vs Indonesia, Maju Tak Gentar...!!

Rabu, 24 Januari 2024 | 10:23 WIB

ASTAGA..!! Ada 26 Motor Hilang di Depan BIGmall

Rabu, 24 Januari 2024 | 10:16 WIB

Menantu Luhut Jadi Komisaris Utama Pindad

Rabu, 24 Januari 2024 | 10:11 WIB

Babinsa Sungai Dama Antar Warga ke Rumah Sakit

Rabu, 24 Januari 2024 | 10:09 WIB

18 Kecamatan di Kukar Kekurangan Pengawas TPS

Rabu, 24 Januari 2024 | 10:08 WIB

Algaka Pelanggar di Kukar Mulai Ditertibkan

Rabu, 24 Januari 2024 | 10:05 WIB

Karena Pemilu, Kasus Korupsi KPU Mahulu Terhambat

Rabu, 24 Januari 2024 | 10:05 WIB
X