Situasi belajar di tengah pandemi memang sedikit banyak menjadi problem. Termasuk bagi pelajar yang memilih melanjutkan pendidikannya ke perguruan tinggi. Dilema bertambah kala banyak orangtua yang terkena imbas pemutusan hubungan kerja (PHK), namun harus menyekolahkan anaknya di universitas negeri.
SAMARINDA–Firdaus terancam tak bisa mengenyam bangku perkuliahan. Pasalnya, biaya uang kuliah tunggal (UKT) yang dibebankan kepadanya terbilang tinggi. Calon mahasiswa dari Muara Jawa, Kutai Kartanegara itu saat ini masih menanti keringanan.
Dari penuturan Aini, kakak Firdaus, kondisi perekonomian saat ini membuat banyak calon mahasiswa kebingungan. “Saya kaget, ada biaya sumbangan pengembangan institusi (SPI) sampai Rp 10 juta. Uang dari mana buat bayar. Sementara banyak yang kena PHK, termasuk saya yang harusnya membiayai pendidikan adik (Firdaus),” ungkapnya saat diwawancarai (30/8).
Ia menyayangkan tak mendapat penjelasan perihal standar penetapan SPI yang dikeluarkan. Ia juga tak mendapat penjelasan secara rinci perihal penetapan besaran UKT yang harus dibayarkan. “Lolos lewat jalur SMMPTN di Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan (FPIK) Unmul. Tapi biaya yang harus dikeluarkan kenapa lebih tinggi dibandingkan kampus swasta,” ungkapnya.
Untuk UKT yang harus dibayarkan memang tidak semua sama. Besarannya bervariasi. “Lah bapak saya enggak kerja, ibu juga enggak. Kenapa bisa sampai UKT Rp 3,5 juta,” tuturnya. Ia menyayangkan sikap kampus yang tak bisa memberikan keringanan lebih di tengah situasi pandemi yang masih terjadi. “Kan belajar lewat daring juga, belum di kampus. Tapi masih tetap diminta bayar, dan itu jumlahnya tidak sedikit,” sambung perempuan yang kini mencoba membuka usaha jual makanan ringan itu.
Jika ditotal, Firdaus harus membayar biaya kuliah Rp 13,5 juta. Itu jumlah dari UKT dan SPI. Menurut Aini, besaran itu sungguh tak masuk akal dengan kondisi ekonomi yang tengah “mencekik”. Meski ia dapat keringanan dari fakultas, kebijakan yang dikeluarkan kampus masih dianggap belum maksimal. “Mungkin uang SPI itu bisa dilunasi bertahap. Kami tetap disuruh bayar 75 persen dari total SPI yang dicantumkan. Dan SPI itu hanya satu kategori. Artinya kan harus bayar Rp 7,5 juta. Kalau ditambah UKT tetap Rp 11 juta,” jelasnya.
Dari penjelasan Iwan Suyatna selaku Dekan FPIK Unmul yang dikirimkan melalui pesan singkat, ia menjelaskan kepada Aini, pihaknya sudah mengambil kebijakan. Diperkenankan penurunan SPI. Namun, tidak lebih 25 persen. Selain itu tidak ada cicilan, namun ada pertimbangan penurunan UKT di semester berikutnya. Jika mahasiswa SMMPTN serius belajar dan indeks prestasi (IP) tinggi, berpeluang memperoleh beasiswa. Diberlakukan agar ada perbedaan dengan mereka yang lulus lewat jalur SNMPTN dan SBMPTN, yang betul-betul berjuang untuk lulus. Mudahan dimaklumi.
Namun, ditujukan bagi orangtuanya yang benar-benar perlu keringanan, tidak berlaku bagi ekonominya mumpuni. (dra2)