RENCANA perusahaantambang batu bara yang memegang Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan Batu Bara (PKP2B) berubah wujud jadi izin usaha pertambangan khusus (IUPK) direspons dingin pemerintah daerah. Penghasilan dari pertambangan batu bara dinilai tak sepadan dengan dampak negatifnya. Jika pun masih harus batu bara, diharapkan yang dibangun adalah industri hilirnya. Tak melulu bertahun-tahun industri hulu.
Penjabat Sekretaris Provinsi (Sekprov) Kaltim M Sa'bani mengucapkan, wewenang perpanjangan kontrak ada di pusat. Kewenangan itu diatur dalam UU Minerba. Sa’bani berharap, perpanjangan izin harus memenuhi syarat yang ketat. "Rata-rata perusahaan yang memegang PKP2B mematuhi peraturan yang ada. Mengingat, mereka adalah perusahaan besar. Mekanisme reklamasi dan sebagainya itu, pasti mereka sudah lebih tertib daripada yang kecil-kecil. Dan kita berharap sih, nantinya proporsional," paparnya.
Di sisi lain, lanjut dia, jika masih ada deposit batu bara yang bisa dimanfaatkan dengan baik dan membawa hasil buat daerah, pastilah pusat akan memperpanjang.
Sementara itu, ekonom Universitas Mulawarman (Unmul) Aji Sofyan Efendi mengatakan, pemerintah harus bisa melepas ketergantungan Kaltim terhadap batu bara. Mengingat, dampak negatif batu bara dirasa lebih masif dibandingkan hasil positifnya. Mulai kehancuran lingkungan maupun konflik horizontal dan vertikal karena batu bara.
"Cost sosialnya lebih besar dibandingkan untung ekonominya," kata Aji Sofyan.
Dosen Fakultas Ekonomi dan Bisnis Unmul ini pun menghitung berapa batu bara yang dihasilkan Kaltim dan dampak ekonominya. Dia mengatakan, dalam satu gunungan batu bara di kapal ponton yang hilir mudik di Sungai Mahakam itu, bisa bernilai Rp 5 miliar. Tiap satu kapal ponton, sambung dia, bisa memuat empat gunungan. Sedangkan dalam setengah jam bahkan 10 menit sekali, kapal lewat. Tetapi, nyatanya Kaltim tak juga sejahtera. Kemiskinan masih terjadi. Akses jalan juga masih banyak yang rusak.
Jika berbincang tentang tenaga kerja, tenaga kerja daerah Kaltim juga lebih banyak menempati posisi-posisi kasar.
"Tak sedikit pekerja yang direkrut dari luar daerah. Seperti mereka yang tiap dua minggu sekali pulang ke Jakarta atau Surabaya," ucapnya. Namun memang tak bisa ditampik, masalah PKP2B ini berada di tangan pemerintah pusat. Maka dia mengharapkan sebagai pemilik rumah yang tanahnya dikeruk, pemerintah daerah seharusnya bisa melakukan aksi lebih untuk membenahi pertambangan batu bara. Apalagi, luasan PKP2B di Kaltim tak sempit, 1 juta hektare adalah lahan PKP2B. Momen ini, seharusnya bisa jadi kesempatan untuk mendorong pembenahan masalah batu bara.
Kaltim sangat bergantung dengan sumber daya alam. Hal itu diungkapkan pengajar Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia Hania Rahma. Dia memaparkan hampir setengah produk domestik regional bruto (PDRB) Kaltim dihasilkan dari sektor pertambangan. Sedangkan sekitar 77 persen sektor pertambangan Kaltim adalah batu bara.
"Nasional tambang cuma 7,8 persen. Jadi Kaltim memang sangat ketergantungan dengan Sumber Daya Alam," ucapnya. Namun disayangkan dengan masuknya pertambangan ini tidak berdampak banyak pada pembangunan di Kaltim. Hania memaparkan data dari indeks pembangunan berkelanjutan daerah, Kaltim ada di urutan 27 dari berbagai provinsi di Indonesia.
Bahkan, Kaltim tertinggi dalam Indeks Natural Resource Curse alias indeks kutukan sumber daya. Setelah Kaltim ada Papua Barat, lalu Papua, kemudian Riau, dan selanjutnya Aceh. Indeks ini, mengacu pada paradoks bahwa negara dan daerah yang kaya akan sumber daya alam, terutama sumber daya non terbarukan seperti mineral dan bahan bakar, cenderung mengalami pertumbuhan ekonomi yang lebih lambat dan wujud pembangunan yang lebih buruk ketimbang negara-negara yang sumber daya alamnya langka. (nyc/riz/k8)