Dilema belajar jarak jauh terus menjadi perbincangan publik. Ribuan anak didik di Samarinda tercatat belum memiliki gawai, alias berada di ekonomi kurang mampu. Sementara belajar tatap muka belum bisa dilakukan seutuhnya.
SAMARINDA–Sistem pendidikan dalam jaringan (daring) diakui sulit diterapkan, termasuk di ibu kota Kaltim. Beberapa daerah bahkan masih blank spot, alias kesulitan jaringan.
Dari data yang dihimpun Disdik, 6,7 persen pelajar di Samarinda tidak memiliki gawai yang berstandar khusus pembelajaran jarak jauh, alias smartphone. “Bujur (benar dalam bahasa Banjar) itu. Sekitar enam sampai tujuh ribu anak didik kita ini masih enggak punya smartphone,” ungkap Kepala Disdik Samarinda Asli Nuryadin.
Keluh kesah kondisi anak didik jenjang SD–SMP yang masih kesulitan belajar itu disebut Asli sudah disampaikan ke Wali Kota Samarinda Syaharie Jaang, dan tim anggaran pemerintah daerah (TAPD). Hal itu akan ditelaah TAPD. “Tapi nanti terserah tim, yang jelas besaran nilainya juga sudah disampaikan,” ungkap Asli. Harapannya, ada tekanan dari pemkot untuk menangani masalah jaringan internet.
Disdik dijadwalkan bertemu dengan anggota dewan. “Nanti disampaikan juga ke mereka bagaimana kondisi pendidikan di Samarinda saat ini,” ungkapnya.
Menyinggung lokasi yang diperkenankan belajar tatap muka, hanya daerah dengan status zona kuning dan hijau. “Kan Samarinda masih oranye, kalau saya ini ngikut Gugus Tugas aja. Jelas masih belum diperbolehkan,” sebutnya. “Kalau nasional melihat secara rata-rata, tapi kalau ditarik ke daerah, Samarinda masih oranye. Kalau kuning pun itu mengkhawatirkan,” sambungnya.
Di beberapa daerah yang hijau, lanjut Asli, tak seluruhnya melakukan belajar tatap muka. Pasalnya, harus ada keputusan bersama antara sekolah dan orangtua. “Kan enggak semua orangtua setuju,” jelas Asli. Meski hijau, Ada dua lembaga yang masih menentang belajar dilakukan tatap muka langsung. Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) dan Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI). “Apa sudah mau dibuat kalau begitu,” ungkapnya.
Jika Samarinda masuk zona kuning, Asli berani meyakinkan anggota dewan dan wali kota untuk melaksanakan kembali belajar mengajar di sekolah. “Tapi tidak ujuk-ujuk langsung keseluruhan,” jelasnya. Bisa membuka di tahap awal untuk sekolah yang ada di pinggiran, dalam artian masih sulit terjangkau jaringan internet. Sekolah di perkotaan diperkenankan dengan catatan yang alat belajar jarak jauhnya tak menunjang.
Jika diizinkan untuk kembali membuka sekolah, tentu tidak langsung aktivitasnya keseluruhan. “Ada skema seperti pembatasan jumlah siswa dalam satu ruang kelas, tapi kembali lagi keputusannya adalah orangtua,” kuncinya. (dra2/k8)