Bersepeda kini menjadi gaya hidup sekaligus tren. Tak ayal, berbondong-bondong warga kota memboyong kendaraan roda dua itu.
OKTAVIA MEGARIA, Balikpapan
DUNIA sepeda bukan hal baru bagi Sonny Richie Anggriawan. Sejak 2009, dia telah menggeluti olahraga itu. Namun berbeda dengan yang marak kini, dia lebih menyukai jenis sepeda gunung atau mountainbike (MTB).
Tak tanggung-tanggung, beberapa kota pernah dia datangi untuk mencari trek menantang. Seperti Malang, Jogjakarta, Bandung, dan Puncak Bogor. Bahkan, saat Maret lalu, dia dan kawan-kawannya sudah berencana untuk menyusuri gunung di Jawa Tengah. Dengan tema Long Way Down. Namun, lagi-lagi pandemi Covid-19 menjadi penghalang. Padahal, segala administrasi sudah selesai diurus.
Sedikit bercerita, hal itu berawal dari dirinya yang sering berkunjung ke tempat saudaranya di Jakarta. Saat kembali berkunjung pada 2008, di mana sepeda MTB booming, ia pun diajak oleh saudaranya untuk ikut mencoba. Dengan melewati jalur di Puncak Bogor. “Di situ masih dipinjami sepeda. Pas coba, ternyata enak, udaranya sejuk,” kata dia.
Dari sana, dia jatuh cinta pada dunia tersebut. Hingga akhirnya, dia mengetahui bahwa ada komunitas di Kota Minyak yang juga menggeluti sepeda gunung, yakni Mud Hog Balikpapan.
Bersama komunitas itu, dia mulai mengenal jalur sepeda gunung. Sonny pun makin gencar menyusuri jalur terjal berkelok di dataran tinggi. Pengalaman itu membuat ia menggeluti sepeda sampai sekarang. Tentu, sepeda gunung tetap menjadi kegemarannya. “Rasanya kalau sepeda santai di jalan raya itu kurang tantangannya. Buat saya membosankan,” ungkapnya.
Di samping itu, dia berkata, minat masyarakat akan sepeda di seluruh belahan dunia, benar-benar luar biasa. Beberapa toko sepeda bahkan kewalahan melayani permintaan. Jika pun ada yang jual secara online, pengiriman barang memakan waktu yang cukup lama. “Tahun lalu ada beli punya teman di Bali. Santa Cruz Bronson, sepeda gunung juga. Itu harganya sekitar Rp 42 juta. Kalau baru biasanya kisaran Rp 60 juta,” ungkapnya.
Hal itu juga yang membuat beberapa oknum mengambil kesempatan. Dengan menaikkan harga jual lebih tinggi. Melihat animo masyarakat saat ini, menurut dia, sah-sah saja. Apalagi sepeda menjadi olahraga yang disarankan pada masa pandemi. Meski, memang mayoritas sepeda santai jenis sepeda lipat. Dan tidak sedikit pula yang karena ikut-ikutan.
Pria kelahiran Tarakan itu berpendapat, bahwa tidak semua orang sama seperti dia. Menyukai tantangan kala bersepeda di gunung. Karena lumpur dan kondisi jalan yang terjal. Maupun sepeda balap, yang perlu kecepatan lebih.
Karena itu, kebanyakan dari masyarakat memilih jenis sepeda lipat (seli). Yang memang diperuntukkan bagi mereka yang senang bersantai menyusuri jalan yang mulus dan rata.
Kendati demikian, pria 44 tahun itu berharap, fenomena ini tidak sementara. Meski memang tak dijamin, kala pandemi Covid-19 berakhir, para pesepeda baru terus bersepeda. “Tapi pasti akan ada yang bertahan. Dan mereka yang sudah nyaman pasti bertahan. Walau mungkin memang lebih banyak yang akan berhenti,” ujarnya. (rom/k8)