Usianya lebih seabad. Dari tikungan Jalan Yos Sudarso dan Jalan Pangeran Suriansyah, bangunan ini jadi saksi sejarah Kota Tepian. Kini, kelenteng itu pun merias diri sesuai perkembangan zaman.
NOFIYATUL CHALIMAH, Samarinda
ABAD 20 baru saja dimulai.
Sebuah kelenteng berdiri tak jauh dari Sungai Mahakam. Berbentuk rumah panggung, tersusun dari kayu ulin, tanpa paku, beratap sirap. Kelenteng ini berdiri sejak 1905. Namanya Thien Ie Kong. Yang bermakna istana Tuhan. Hingga saat ini, kelenteng tersebut jadi tempat beribadah bagi ribuan umat Konghucu di Samarinda.
Namun, kelenteng itu sudah berganti rupa. Tak lagi sama persis seperti didirikan. Mengikuti perkembangan zaman. Atapnya tak lagi sirap, lantai bukan lagi kayu. Bentuknya pun bukan rumah panggung lagi. Bulan ke delapan pada kalender Tionghoa, atau sekitar September mendatang, Kelenteng Thien Ie Kong genap berumur 115 tahun. Menyambut usia barunya, kelenteng ini menyulap ruangan agar umatnya makin nyaman beribadah.
Ketua Kelenteng Then Ie Kong Untung Brawijaya mengisahkan, sejumlah perbaikan dimulakan pada Februari lalu. Ketika, insiden terjadi saat api dari lilin saling menyulut dan membesar. Beruntung segera diketahui pengurus, api bisa dikendalikan.
Hal ini membuat para pengurus berpikir bahwa jika dibiarkan, kejadian lebih buruk bisa saja terjadi. Apalagi, kelenteng ini bangunannya terbuat dari kayu yang rentan terbakar. Belum lagi beberapa kasus kelenteng terbakar sudah terjadi seperti di Balikpapan atau Singkawang, Kalimantan Barat.
"Selama ini enggak pernah kejadian seperti itu. Ini seperti pertanda. Akhirnya kami meminta petunjuk pada dewa. Jawabannya tiga kali berturut-turut, iya. Kalau sekali, bisa saja kebetulan. Ini tidak, tiga kali berturut-turut petunjuknya, iya," kisah Untung.
Akhirnya, perombakan ruangan pun dilakukan. Lilin tak lagi diletakkan di dalam ruangan. Umat masih bisa beribadah dengan lilin di luar. Di dalam ruangan, mereka bisa bersujud atau duduk meditasi, dengan nyaman. Tidak seperti dahulu yang hanya bisa beribadah dengan berdiri karena lantai kotor.
"Lantainya kami perbaiki, kami cat lagi beberapa bagian yang kusam. Juga kami beri lampu yang terang," kata Untung.
Setelah ada perbaikan, dia pun melihat para umat tampak lebih nyaman beribadah. Mereka lebih khusyuk bermeditasi. Mereka bisa sujud dan bersimpuh saat beribadah. Mereka pun tidak lagi segan membawa anak-anak untuk ikut beribadah. Sebab, ruangan bersih, tidak ada asap, dan api lilin.
"Saya ada lihat saat ibunya sembahyang, anaknya guling-guling menunggu di depan patung Dewi Kwan Im. Pas sekali, Dewi Kwan Im kan suka dengan anak-anak," kata Untung.
Dengan begini, regenerasi umat pun lebih baik. Anak juga bisa mengenal agama sejak dini dan akrab dengan kegiatan spiritual. Peletakan lilin dan dupa di luar ruangan bukan hal baru. Kelenteng di Singapura, Malaysia, dan beberapa kelenteng lain menerapkan hal ini. Sebab, keamanan dan kenyamanan beribadah jadi kunci. Awalnya, perbaikan hendak dilakukan sejak Februari. Namun, pandemi Covid-19 membuat pekerjaan tertunda. Hingga akhirnya, awal Agustus pengerjaan baru bisa selesai.