Konflik Timor Timur memaksa ribuan warga meninggalkan kampung halaman dan berdomisili di berbagai wilayah Indonesia. Namun, hingga dua dekade kemudian, ribuan di antaranya belum mendapatkan hak yang selayaknya.
UMAR WIRAHADI, Semarang, Jawa Pos
RUMAH berdinding bambu itu tampak sudah lapuk dimakan usia. Beberapa bagian dinding ditutupi karung dan seng bekas untuk melindungi yang sobek. Dengan hanya berlantai tanah, lengkap sudah kesan bahwa bangunan itu sudah tidak layak huni.
Itu adalah potret salah satu bangunan kamp pengungsian warga eks Provinsi Timor Timur –kini Timor Leste– yang biasa ditemui di sejumlah tempat di Kabupaten Kupang, Nusa Tenggara Timur (NTT). ”Bangunan seperti itu sudah jamak ditemui di kamp-kamp pengungsian,” ujar Abel Monteiro kepada Jawa Pos (3/8).
Abel Monteiro adalah salah seorang tokoh eks Provinsi Timor Timur yang memilih menjadi warga negara Indonesia (WNI). Saat ini pria 55 tahun itu tinggal di Semarang, Jawa Tengah. Pada 24 Mei 2018, dia memprakarsai berdirinya organisasi yang memayungi warga eks Timtim. Namanya Komunitas Persaudaraan Kesejahteraan Masyarakat Eks Provinsi Timor Timur atau disingkat Koper Kesmatim. ”Kami ingin organisasi ini menjadi wadah bagi warga eks Timtim yang setia dengan NKRI,” tuturnya.
Salah satu contoh rumah bekas warga eks Timor Timur di Kupang.
Menurut dia, pendirian organisasi itu adalah mandat untuk melindungi hak-hak warga eks Timtim. Dasar pembentukan organisasi tersebut adalah Keppres 25/2003 tentang Pendataan Penduduk WNI Eks Provinsi Timor Timur. Juga, Perpres 25/2016 tentang Pemberian Kompensasi kepada WNI Eks Timor Timor yang Berdomisili di Luar Provinsi NTT.
Hingga kini, Koper Kesmatim sudah berdiri di 18 provinsi dengan lebih dari 5 ribu anggota. Mulai di Jawa Tengah, Jawa Timur, DKI Jakarta, Bali, Sumatera, Kalimantan, hingga Papua.
Dituturkan, tempat tinggal menjadi isu paling krusial saat ini. Bayangkan, masih ada ribuan warga yang hidupnya terlunta-lunta karena tidak punya rumah sendiri. Selain tidak layak huni, kesulitan warga eks Timtim mempunyai rumah sendiri karena status tanah yang ditempati tidak bersertifikat. Ada yang sudah tinggal lebih dari 15 tahun di suatu tempat, harus terusir karena tanah itu dijual pemiliknya. Akhirnya tidak sedikit yang pindah tempat tinggal ke tengah hutan lindung.
Cerita pilu itu, tutur Abel, sering terjadi di wilayah NTT yang berbatasan langsung dengan Timor Leste. Sebab, sebagian besar pengungsi ada di provinsi tersebut.
”Yang diharapkan adalah bantuan rumah sekaligus jaminan status tanah,” tuturnya.