Penyebaran Coronavirus Disease (Covid-19) di Kota Tepian masih belum bisa dibendung. Dampaknya, segala aktivitas banyak dilakukan jarak jauh. Termasuk sistem belajar. Lantaran tak ingin muncul klaster pendidikan, Dinas Pendidikan Samarinda masih menerapkan sistem belajar dalam jaringan (daring).
SAMARINDA–Belajar dari kisah Dimas Ibnu Alias, pelajar sekolah menengah pertama di Rombang, Jawa Tengah, yang kesulitan belajar lewat daring. Ia bahkan tetap datang ke sekolah untuk menuntaskan belajarnya.
Kepala Dinas Pendidikan (Disdik) Samarinda Asli Nuryadin pun merespons. Diwawancarai belum lama ini, ASN golongan II B itu menyebut, tentu tak menginginkan adanya kisah seperti Dimas terjadi di Samarinda. “Tapi itu enggak menutup kemungkinan lho,” ungkapnya dengan nada santai. Bicara metode pendidikan saat ini, eks kepala Bapenda Samarinda itu menyebut, Covid-19 adalah waktunya untuk beraktivitas di rumah. Namun, ia tak ingin losing time terjadi begitu saja.
“Makanya dilakukan proses pembelajaran. Metode saat ini (daring) itu rekomendasi yang paling pas,” ucapnya. Namun, infrastruktur yang ada di ibu kota Kaltim dianggapnya masih sangat terbatas. Bahkan, disebut Asli, pembelajaran menggunakan gawai tidak direkomendasikan. “Belajar daring itu memang paling dimungkinkan, tapi sebenarnya kan menggunakan laptop,” tambahnya. Tidak diperkenankan menggunakan gawai, ujar Asli, hal itu lantaran melihat kejenuhan dan daya kekuatan mata anak. Memerhatikan gawai terus-terusan dengan waktu yang cukup lama dianggap bisa merusak mata.
Semula itu harus menggunakan layar layaknya komputer atau laptop. “Tapi itu impossible kalau harus diberlakukan ke seluruh anak, tidak semua anak bisa punya komputer atau laptop,” ujarnya. Makanya dianggap tidak ada pilihan lain menggunakan handphone (HP). Namun, penggunaan HP disebutnya masih memunculkan masalah lain. “Ada yang satu handphone harus diakses dua anak. Ada juga ponsel berstandar tapi dibawa orangtua bekerja. Ada yang enggak punya akses sama sekali. “Jelas itu jadi masalah kan,” ungkapnya. Lantas bagaimana solusinya?
Asli membeberkan, ada beberapa skema yang bisa dijalankan anak yang kesulitan mengakses menggunakan handphone. “Anak didik harus mencari rekan terdekat yang memiliki akses belajar-mengajar menggunakan gawai. Kalau mampu, orangtua bisa beli (handphone), tapi kan kondisi saat ini lagi sulit. Berat pasti,” tambahnya.
Jika masih belum bisa terlaksana, anak-anak yang kesulitan belajar lewat daring bisa melapor ke sekolah. Selanjutnya guru yang akan menuju tempat belajar yang disepakati. “Tapi minimal ada lima sampai tujuh anak, nanti guru yang bawa peralatan seperti papan tulis kecil,” ungkapnya. Namun, itu tak mulus seperti yang dibayangkan. Menurut Asli, ada orangtua yang tak mmeperbolehkan anaknya keluar. “Kalau memang tahapan itu sudah dilakukan, tak ada pilihan lain,” ujar pria kelahiran Long Iram, Kutai Barat, itu.
Belajar dengan tatap muka bisa dilakukan di sekolah. “Tapi harus ada batasan. Maksimal 10 anak dalam satu ruangan dan waktunya enggak boleh lama. Harus memerhatikan protokol kesehatan,” kuncinya. (dra2/k16)